Keberadaan Hukum progresif tidak berarti meninggalkan undang-undang (UU). Justru sebagian besar undang-undang masih dipergunakan dalam pengujian undang-undang. Hukum progresif merupakan hukum yang mengantisipasi dan merespons bahwa ada pasal dari undang-undang tertentu, yang apabila ditafsirkan secara normatif, justru tidak responsif terhadap tuntutan masyarakat.
“Dalam hal ini tidak memberikan suatu keadilan,” kata Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Achmad Sodiki saat memberi kuliah singkat kepada para mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang bertandang ke MK, Senin (9/5) siang.
Achmad Sodiki saat memberi kuliah singkat kepada para mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang bertandang ke MK, Senin (9/5) siang.
Sodiki melanjutkan, dalam pengujian undang-undang tidak ada batasnya jenis-jenis undang-undang yang akan diujikan. Jenis undang-undang yang diujikan di MK, beragam. Ada UU Sumber Daya Alam, UU Perkebunan, UU Penanaman Modal, UU Pemda, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Parpol, dan lain-lain.
“Namun demikian, tolok ukur pengujian undang-undang adalah konstitusi itu sendiri. Oleh sebab itu, pandangan di MK tidak pernah membatasi pada bidang lain. Banyak pendapat Mahkamah yang mengutip pendapat pakar-pakar bidang lain selain hukum. Misalnya, pakar bidang ekonomi,” jelas Sodiki yang didampingi moderator Agus Fadilah Sandi dari UII Yogyakarta.
Selain itu, lanjut Sodiki, dalam pengujian undang-undang biasanya tidak seluruh pasal dari undang-undang dibatalkan, namun hanya pasal-pasal tertentu saja yang dibatalkan. Meskipun ada juga keseluruhan pasal yang dibatalkan karena pasal yang diujikan sangat fundamental.
Lebih jauh Sodiki mengungkapkan, sebelum terjadi Reformasi Politik 1998, masyarakat mengalami kehilangan kebebasan mengekspresikan pendapat, kebebasan untuk menulis, dan sebagainya. Bahkan hal ini meluas sampai ke perguruan tinggi, banyak dosen yang enggan menulis karena ketakutan ditangkap pihak pemerintah saat itu.
“Pemerintah saat itu alergi kalau dikritik, tidak suka dikritik. Meskipun kala itu banyak juga pengeritik pemerintah, antara lain juga dari mahasiswa, hingga mereka ditangkap dan menjadi tahanan politik,” imbuh Sodiki yang juga menerangkan begitu suburnya korupsi di masa itu.
Setelah terjadi Reformasi Politik 1998 di Indonesia, situasi kondisi negara kita berubah dengan adanya kebebasan menyampaikan pendapat, mengkritik pemerintah maupun untuk memperjuangkan hak-haknya. Kebebasan ini diberikan seluas-luasnya, baik kepada pers, mahasiswa, dosen, dan sebagainya. “Situasi pun kian berubah, yang menjadi sasaran kritik bukan hanya pihak pemerintah, tetapi juga pihak DPR,” ucap Sodiki.
Kondisi negeri yang berubah total ini, dengan berani mengkritik DPR sebagai pembuat undang-undang, menjadikan kekuatan bagi rakyat sebagai pemilik negara. Sejak dibentuknya MK pada 2003, rakyat semakin berani memperjuangkan hak-haknya, misalnya dengan melakukan pengujian UU yang dianggap mengurangi, bahkan merampas hak-hak konstitusionalitasnya. (Nano Tresna A./mh)
(Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5367)