UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban beserta peraturan teknisnya dianggap tak cukup memberi perlindungan kepada pelapor tindak pidana yang sekaligus berstatus tersangka (whistleblower).
Di sisi lain, hakim juga jarang memberi keringanan kepada terdakwa yang sekaligus berperan whistleblower. Soalnya, hakim hanya
berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tidak menghitung status terdakwa sebagai whistleblower dalam menjatuhkan vonis.
berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tidak menghitung status terdakwa sebagai whistleblower dalam menjatuhkan vonis.
Atas pertimbangan itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) merevisi UU 13/2006 dengan memperjelas posisi whistleblower. Ini sekaligus memberi masukan kepada pemerintah yang sedang merevisi undang-undang yang sama.
"Masukan ini untuk menambah komprehensifitas substansi revisi UU," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai usai menyerahkan naskah akademik rancangan revisi UU 13/2006 ke Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar, Jumat (6/5).
Menurut Semendawai, pengaturan tentang perlindungan bagi whistleblower di undang-undang yang lama amat minim. Upaya mengatur dalam peraturan yang lebih teknis seperti PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, juga dirasa tak memadai. "Maka itu diangkat ke revisi UU LPSK ini, sehingga setara dengan KUHAP (dan jadi acuan hakim, red)."
Anggota Satgas PMH, Mas Achmad Santosa di kesempatan yang sama mengamini pernyataan Semendawai. Biasanya, pengurangan hukuman terhadap seorang terdakwa yang juga whistleblower sifatnya bukan kewajiban dan sulit diprediksi.
"Makanya kita berikan usulan, perlindungan fisik dan psikologis, penanganan secara khusus dan penghargaaan. Satgas menganggap ini penting karena dari pengamatan kami kalau ingin berantas mafia hukum butuh perangkat hukum yang memadai untuk pelapor yang bekerjasama," ujar pria yang biasa disapa Ota ini.
Menurut dia, pemberian penghargaan bagi pelapor yang juga tersangka harus dilakukan secara hati-hati, terlebih mengenai informasi yang diberikan. Apabila informasi yang diberikan tidak benar, reward dalam bentuk pengurangan hukuman bisa dibatalkan dan bahkan hukumannya malah ditambah.
Pengaturan tentang whistleblower ini salah satunya terdapat dalam Pasal 1 angka 4 revisi UU 13/2006. Pelapor Pelaku adalah saksi dan/atau pelapor yang juga pelaku tindak pidana yang membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dan/atau pengembalian aset-aset/hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan kesaksian, laporan atau informasi lain. Ketentuan ini tak ada dalam undang-undang yang lama.
Isu Kelembagaan
Selain tentang perlindungan pelapor, kejelasan status LPSK juga menjadi inti usulan RUU. Misalnya, apakah posisi LPSK itu sebagai lembaga negara atau lembaga pemerintah non departemen. Bukan hanya itu, keorganisasian LPSK juga turut menjadi masukan. Seperti, susunan keanggotaan LPSK, mulai dari pimpinan, deputi dan supporting system seperti sekretariat jenderal.
“Kami harap (RUU LPSK) masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2012 sehingga (pembahasan) tidak terlalu lama," ungkap Semendawai.
Menkumham Patrialis Akbar mengapresiasi usulan yang diberikan LPSK dan Satgas. Selanjutnya, pihaknya akan berkoordinasi dengan biro hukum seluruh kementerian dan lembaga negara di Indonesia membicarakan substansi RUU. "Bukan berarti ditelan mentah-mentah," katanya di tempat yang sama.
Artinya, lanjut Patrialis, rumusan RUU bisa berubah setelah rapat koordinasi antar biro hukum dilakukan. Koordinasi ini dilakukan sebagai bentuk sinkronisasi dengan peraturan yang lain. Setelah disetujui rapat, kemudian RUU diserahkan ke presiden dan selanjutnya diberikan ke DPR untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas 2012. "Setelah itu baru (RUU) dibahas antara pemerintah dengan DPR," pungkasnya.
(Sumber http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dc3ef9b6b0d5/agar-hakim-pertimbangkan-iwhistlebloweri)