Manusia semakin pesat dan mampu merekayasa dunia seperti manusia inginkan. Manusia tampil sebagai subyek kehidupan dengan merefleksikan segala peradaban seperti mereka maui. Persoalan norma, etika, dan hukum kemasyarakatan dunia semakin bergeser. Dalam masyarakat post modern seperti di barat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dikenal hak asasi individu masyarakat sangat dijunjung tinggi, sehingga hukum pun disesuaikan dan direkayasa berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat tersebut. Hukum pun bergeser dan mulur sedikit demi sedikit. Pada waktu dulu dilarang, justru sekarang dibolehkan bahkan dianjurkan.
Kalau dulu membunuh manusia lain terkesan mengerikan, sekarang justru membunuh diri sendiri tidaklah asing di pendengaran.Namun persoalan mengakhiri suatu kehidupan (baca: Euthanasia) apakah cermin hal manusia? Jika memang merupakan hak manusia itu sendiri, maka kematian yang bagaimanakah yang seharusnya dipilih?
Berkenaan dengan masalah Euthanasia, pernah disidangkan di Manila pada tahun 1977 dalam rangka konferensi sedunia (Djoko Prakoso, SH. 1984:60). Di Indonesia pun pada tahun 1985 diselenggarakan seminar Euthanasia dengan melibatkan para ahli kedokteran dan ahli hukum positif serta hukum Islam dengan perbincangan yang cukup menarik antara pro dan kontra terhadap masalah ini (Dr. H. Chuzaimah T Yanggo, 2002: 63)
Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya
Euthanasia merupakan mengakhiri hidup dengan cara mudah tanpa merasakan sakit. Ditinjau dari orang yang berkehendak, Euthanasia bisa terjadi karena keinginan pasien sendiri, permintaan keluarga dengan persetujuan pasien (pasien dalam keadaan sadar), atau bisa jadi karena permintaan keluarga karena tidak tega melihat kondisi pasien tanpa persetujuan pasien (pasien tidak sadar).
Euthanasia dikategorikan dalam dua macam, pertama, dengan mengutip bahasa Qardlawi "Tafsir Al-Maut Al-Fa'al" (Euthanasia positif) dan "Tafsir Al-Maut Al-Murfail" (Euthanasia negatif) (Dr. Yusuf Qardlawi, 1996:749). Euthanasia aktif merupakan suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun dengan melepaskan alat-alat pembantu medika seperti melepaskan alat pemacu jantung, melepaskan saluran zat asam dan sebagainya. Sedangkan Euthanasia pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien/penderita dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengalaman maupun ukuran medik sudah tidak ada harapan hidup.
Kriteria Mati
Para fuqaha menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena, pertama, masih adanya gerak nafas baik sedikit maupun banyak. Kedua, adanya suara ataupun bunyi. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir, terutama orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indera dan hati (Al Ghufron Mukti, 1993: 310-312).
Ada tiga istilah yang berkaitan dengan kematian menurut medis: Pertama, kematian klinis; suatu kematian di mana terjadi gangguan pada tiga sistem utama yakni sistem saraf pusat (otak), sistem peredaran darah dan sistem pernapasan. Kedua, mati suri; suatu keadaan yang mirip dengan kematian klinis, namun gangguan yang terdapat pada tiga sistem tersebut bersifat sementara. Ketiga, kematian seluler; Pada saat seseorang dinyatakan mati klinis, organ-organ maupun jaringan-jaringan tubuh tertentu masih dapat tetap berfungsi secara tersendiri untuk beberapa saat6. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli kedokteran tampaknya sepakat bahwa yang menjadi patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak betul-betul sudah mati harapan hidup seseorang sudah terputus. Ada dua macam kematian otak, yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Batang otak merupakan pusat saraf penggerak semua saraf tubuh, termasuk menggerakkan jantung dan paru-paru.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakan ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Buthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. Jenis kematian ini bisa juga dikatakan sebagai Euthanasia8.
Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran
Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang Euthanasia. Rupanya pandangan dari pembentuk undang-undang Hindia Belanda itu masih dianut hingga kini. Kendatipun begitu, paling tidak harus dicari pengaturan atau pasal yang mendekati unsur-unsur Euthanasia ini, sebab menyangkut masalah keselamatan jiwa manusia.
Dalam pasal 344 KHUP disebutkan bahwa: "Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipenjara dengan pidana paling lama dua belas tahun".
Kalimat "Permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati" haruslah mendapat perhatian, bahwa unsur inilah yang dapat menentukan pidana berdasar pasal 344 KUHP atau tidak. Agar supaya ini tidak di salah gunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan, harus dapat dibuktikan sesuai dengan pasal 295 HIR.
Dalam Bab II pasal 9 dari kode etik kedokteran Indonesia dinyatakan bahwa: "Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani".
Dengan demikian dokter mempunyai kewajiban untuk menghormati setiap hidup insani mulai saat terjadinya pembuahan. Oleh karena itu segawat apapun sakit seorang pasien, setiap dokter harus tetap melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut.
Euthanasia dalam Tinjauan Hukum Islam
Di dalam Al-Qur'an Surat Al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup mati dan mati adalah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan penciptanya. Islam sangat menghargai jiwa, oleh sebab itu seseorang sama sekali tidak berwenang dan tidak oleh melenyapkan tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri.
Dalam Surat Al-Hijr ayat 23:
و انا لنحن نحى و ونميت و نحن الوارثون
"Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan dan kami (pulalah) yang mewarisi"
Dalam Surat An-Najm ayat 44:
و انه هو امات و احيا
"Dan bahwasanya Dialah Allah yang mematikan dan menghidupkan"
Agar manusia tidak memandang murah terhadap jiwa, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkan. Dan oknum perusak jiwa akan dihukum dengan aturan pidana Islam. Menurut pidana Islam, orang yang menganjurkan/menyetujui/membantu seseorang yang membunuh diri adalah berdosa dan dapat dikenakan hukum ta'zir, demikian pula Euthanasia. Hukuman ta'zir adalah hukuman terhadap suatu tindak pidana yang tidak ditentukan oleh Al-Qur'an dan hadis. Berat ringannya hukuman ta'zir itu diserahkan kepada hakim yang mengadili perkara untuk menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan tidak pidananya, pelakunya, dan situasi kondisi di mana tindak pidana itu terjadi.
Dampak dari sebuah pembunuhan adalah merusak tatanan kehidupan sosial, seperti dideskripsikan Surat Al-Maidah ayat 32. Mengakhiri hidup dengan cara Euthanasia berarti mendahului atau melanggar kehendak Allah dan wewenangnya. Bunuh diri merupakan suatu tindakan yang kurang bertangung jawab dalam kehidupan, artinya kekuatan akidah yang kurang, dan rasa percaya diri yang minim14. Untuk itulah penanaman tauhid perlu ditanamkan kepada masyarakat selain perbaikan sosial ekonomi masyarakat.
Penutup
Agama Islam, dunia medis dan hukum positif di Indonesia tidak melegalitas tindakan Euthanasia aktif dengan sebab manusia merupakan subyek dalam kehidupan yang berkewajiban memelihara kehidupan sebagai khalifah Allah. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru dan cortex otak (otak besar) dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien sudah mati karena masih ada harapan untuk disembuhkan, terutama di rumah sakit yang peralatannya lengkap. Maka tindakan Euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
(Sumber; Makalah karya Ulfah Umurohmi, S.Pd.I., M.Pd., alumni UNY Yogyakarta)