Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Pasal 10 Ayat 1 menyebutkan bahwa saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Pasal inilah yang menjadi salah satu alasan kuat untuk melindungi saksi pelapor/whistle blower.
Di pembukaan Undang-Undang ini disebutkan bahwa Undang-undang ini dibuat rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk
mengungkap tindak pidana dan untuk memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
mengungkap tindak pidana dan untuk memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Sejak itu, muncul suara bahwa kriminalisasi terhadap saksi pelapor/whistle blower adalah sesuatu yang tidak boleh karena bisa mengendurkan semangat anti korupsi di negeri ini. Salah satu alasan yang juga dikemukakan adalah bila setiap whistle blower diperlakukan demikian, dikhawatirkan tidak akan ada orang yang dengan sukarela melaporkan kejadian pelanggaran yang dia ketahui.
Contoh paling hangat seperti yang sedang dialami oleh Dirwan Mahmud (Mantan Calon Bupati Bengkulu Selatan) yang dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan percobaan penyuapan. Bermula dari artikel Refly Harun di harian ini tanggal 25 Oktober 2010 tentang “Kebersihan Mahkamah Konstitusi” yang terus bergulir bagai bola salju sampai sekarang, dan akhirnya menyeret nama-nama lain seperti Dirwan Mahmud dan beberapa nama lain. Singkat cerita, akhirnya semua saling “melaporkan” satu sama lain, ada yang ke KPK dan ada yang ke Bareskrim POLRI. Cerita ini kemudian berujung dengan pencabutan keterangan Dirwan Mahmud kepada tim investigasi MK karena justru merasa menjadi korban kriminalisasi terhadap laporan yang ia lakukan.
Di website resmi KPK, whistle blower diartikan dengan “seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut.”
Dalam Wikipedia juga disebutkan bahwa jika ternyata pengungkapan seorang whistle blower tentang suatu perbuatan yang melanggar hukum ternyata dilarang oleh hukum atau diminta atas perintah eksekutif untuk tetap dijaga kerahasiaannya maka laporan seorang whistle blower tidak dianggap berkhianat.
Dengan kata lain, secara sederhana, seorang whistle blower bukanlah seorang yang terlibat dalam perbuatan melanggar hukum tersebut. whistle blower diperlukan untuk mengungkap adanya kejahatan yang dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi yang kebetulan dia ketahui.
Pertanyaan yang muncul kemudian: “Apa yang terjadi kalau ternyata sang whistle blower adalah orang terlibat dalam perbuatan melanggar hukum (korupsi) tersebut?”
Ada satu hal yang dilupakan, bahwa tindak pidana korupsi bukanlah delik aduan, tapi delik pidana. Adanya pengaduan atau tidak, tidak berpengaruh terhadap status tindak pidana korupsi, yang bila dilakukan dapat dikenakan hukuman dan atau sanksi.
Bahkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 108 disebutkan bahwa siapapun yang mengetahui adanya tindak kejahatan, wajib melaporkan kepada pihak berwenang. Kata wajib disini tidak berarti ganda, wajib adalah wajib, bukan boleh atau tidak.
Ketika semua menatap pada Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Pasal 10 ayat 1, maka mari lihat Undang-Undang yang sama, pasal yang sama, ayat (2) yang berbunyi “Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan." Yang jadi masalah, tidak semua orang melihat ayat ke 2 dari pasal ini.
Susno Duadji dulu pernah mengajukan uji materi Undang-Undang No 13 Tahun 2006 pasal 10 ayat 2 ini ke Mahkamah Konstitusi yang terdaftar dengan nomor perkara 42/PUU-VIII/2010 dengan alasan menghindari penetapan seorang saksi menjadi tersangka dan penahanan secara sepihak oleh penyidik tanpa mempertimbangkan adanya kewenangan lembaga negara lain yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dalam perkara pidana.
Uji Materi pasal ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Salah satu pertimbangan hukumnya adalah apabila pasal tersebut ditiadakan akan menimbulkan kemungkinan atau pintu bagi pelaku tindak pidana untuk berlindung dan menyelamatkan diri melalui ketiadaan norma tersebut.
Yang menarik, dalam Putusan itu juga disebutkan sekilas penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang No 13 Tahun 2006 pasal 10 ayat 1, bahwa ketentuan yang terdapat pada Pasal 10 ayat (1) harus dimaknai tidak berlaku terhadap saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama, juga pelapor yang tidak beritikad baik. Mari kita garis bawahi ini: “Pelapor yang tidak beritikad baik”.
Sudah jamak terjadi, ketika aparat hukum (polisi/jaksa/hakim) sudah menyatakan diri dengan tegas menolak segala bentuk pemberian dan sebagainya, maka pihak yang berkepentingan dalam perkara itu akan melakukan segala cara menembus pertahanan tersebut. Tidak bisa lewat orangnya, maka istri, anak, atau keluarga dekat aparat hukum akan menjadi sasaran.
Yang sering dilupakan juga, tindak pidana korupsi ada bermacam-macam, diantaranya memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 20 tahun 2001).
Memang dalam pasal tersebut hanya disebut tentang “memberi atau menjanjikan”, akan tetapi apakah “usaha untuk memberi atau menjanjikan” itu tidak termasuk? Tentu tidak sesederhana itu.
Hanya ada satu jalan keluar yang sangat aman bagi wisthle blower yaitu dia bukanlah orang yang punya kepentingan dalam perkara tersebut. Apalagi kalau ternyata dia termasuk komplotan mufakat jahat yang merasa terkhianati atau merasa sakit hati. Kalau itu yang terjadi, maka jika suatu saat sang wisthle blower ikut jadi tersangka, tidak tepat apabila istilah kriminalisasi disematkan, karena itu memang delik pidana.
Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil, yaitu kepada mereka yang berniat menjadi wisthle blower gunakanlah cara yang tepat. Laporkan ke KPK, itu lebih baik. Juga jangan langsung diekspos di media. Kalau itu benar, mungkin akan mendapatkan nama dan ketenaran. Tapi kalau tidak benar, hanya akan menjadi fitnah belaka.
Perlindungan terhadap Whistle Blower pada dasarnya adalah untuk menunjang penegakan hukum. Jangan sampai maksud ini menjadi hampa hanya karena sang peniup peluit itu adalah seseorang yang juga terlibat, sehingga perlindungan terhadap whistle blower untuk menegakkan hukum justru menjadi perbuatan yang melawan hukum.
Hanya beberapa orang yang layak disebut wisthle blower, diantaranya Khairiansyah (mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang pada tahun 2005 meniup peluit kasus korupsi KPU).
Makna sempit bahwa setiap whistle blower layak mendapatkan perlindungan sebagaimana tertulis dalam UU No. 13 Tahun 2006 Pasal 10 ayat 1, akan berakibat secara sistemik, dan juga (ironisnya) atas nama keadilan, orang-orang seperti Gayus Tambunan dan Susno Duadji pun berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Apakah itu yang kita inginkan?