Ilmu hukum mengenal beragam sejumlah adagium yang menguatkan teori fiksi hukum. Fiksi hukum mengandung arti semua orang dianggap tahu hukum. Seseorang tidak bisa berdalih tak mengetahui suatu Undang-Undang ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Ignorante juris non excusat, begitu salah satu adagium, yang berarti ketidaktahuan atas suatu hukum tak bisa dimaafkan.
Seperti itulah nasib yang menimpa Ahmad Nasir. Pria asal Jepara ini tetap dinyatakan bersalah melanggar Undang-Undang Cukai setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya. Dalam rapat permusyawaratan pada 3 Januari lalu, majelis hakim agung dipimpin HM Imron Anwari menyatakan alasan-alasan kasasi Ahmad Nasir tidak dapat dibenarkan. Hakim di tingkat pertama dan banding tidak salah menerapkan hukum.
Padahal dalam memori kasasinya, Nasir antara lain berdalih tak mengetahui ada Undang-Undang yang mewajibkan pengenaan pita cukai pada setiap bungkus rokok. “Saya terdakwa tidak tahu kalau ada Undang-Undang baru mengenai pita cukai,” dalihnya, seperti tertuang dalam putusan Mahkamah Agung yang salinannya diperoleh hukumonline. Putusan atas perkara ini diunduh ke dalam laman Mahkamah Agung pada 3 Mei 2011.
in tidak tahu, pemberlakuan aturan baru seharusnya menggunakan prinsip hukum yang sudah umum. Jika ada aturan baru, kepada terdakwa dikenakan aturan yang paling menguntungkan. Nasir menganggap Pemerintah terkesan menyusahkan pengusaha kecil seperti dirinya. Termasuk semakin beratnya sanksi dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 dibanding Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
al kasus yang menjerat Nasir terjadi pada 22 Februari 1999. Menggunakan Daihatsu Xenia, ia berangkat dari rumah menuju Pasar Mranggen Demak. Di dalam mobil terdapat belasan bal rokok SKM berbagai merek. Rokok tersebut ternyata tidak dilekati pita cukai. Di tengah perjalanan, mobil yang dibawa Nasir terkena razia petugas Bea dan Cukai setempat. Berdasarkan perhitungan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea Cukai, aksi Nasir merugikan negara hingga Rp6,9 juta. Kerugian itu dihitung dari nilai cukai yang seharusnya dibayarkan pelaku kepada negara. Penyidik akhirnya menuduh warga Desa Kriyan Kabupaten Jepara itu melanggar pasal 54 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Dalam argumennya di pengadilan, Nasir mengatakan tak mengetahui adanya Undang-Undang No. 39 Tahun 2007. Tetapi majelis hakim kasasi menampik argumen itu. Dengan putusan kasasi itu, maka vonis satu tahun penjara dan denda Rp14 juta menjadi berkekuatan hukum tetap. Vonis itu awalnya dijatuhkan Pengadilan Negeri Jepara pada awal Agustus 2009 silam. Pengadilan Tinggi Jawa Tengah menguatkan vonis itu lima bulan kemudian. Nasir dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah “karena telah menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai”
Putusan atas perkara Nasir ini terus meneguhkan sikap Mahkamah Agung. Sudah beberapa kali Mahkamah Agung memutuskan bahwa ketidaktahuan seseorang terhadap hukum atau Undang-Undang bukan alasan pemaaf. Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 645 K/Sip/1975 mengandung semangat ini: ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Dua puluh tahun sebelumnya, Mahkamah Agung juga mengeluarkan putusan No. 77/Kr/1953, dalam perkara Haji Ilyas, yang menyatakan setiap orang dapat dianggap mengetahui Undang-Undang. Pertimbangan senada muncul kembali dalam putusan MA No. 77 K/Kr/1961 (perkara M. Sabirin Biran).
Dengan demikian, ketidaktahuan seseorang akan peraturan merupakan suatu kesalahan besar. Ignorante legis est lata culpa. Sebaliknya, Mahkamah Agung juga beberapa kali dalam putusan menegaskan jika ada perubahan peraturan, maka yang diberlakukan adalah yang menguntungkan bagi terdakwa.
(Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4dc100992a35a/ketidaktahuan-undangundang-tak-dapat-dibenarkan)