Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan untuk menghapus sengketa perkara pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Di dalam putusannya, hakim konstitusi menilai bahwa Pasal 236 C Undang Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) dan Pasal 29 Ayat 1 huruf e UU Nomor 48 Tahun 2009 dianggap inkonstitusional.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi kembali murni menjadi Guard of Constitution, tanpa diembel-embeli kewenangan lain, dan kita boleh berharap bahwa fokus Hakim Mahkamah Konstitusi tidak lagi terpecah untuk mengurusi perkara sengketa Pilkada.
Ada beberapa point penting yang dapat ditarik dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, pertama; Mahkamah Konstitusi tidak berwenang lagi mengadili semua sengketa Pilkada, kedua; Belum jelas siapa yang berwenang untuk mengadili Perkara Sengketa Pilkada pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.
Walaupun dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi tetap mencantumkan bahwa Mahkamah tetap berwenang mengadili Perkara Sengketa Pilkada selama Undang-undang baru yang menunjukkan kewenangan Sengketa Pilkada ini belum dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah, akan tetapi tetap akan muncul berbagai macam masalah.
Salah satu hal yang sangat urgen dan mendapat perhatian lebih adalah sidang Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara-perkara sengketa Pilkada saat ini tidaklah berlandaskan hukum apapun, karena Undang-undang yang dimaksud telah dibatalkan oleh Mahkamah sendiri, dan putusan tersebut langsung berkekuatan hukum tetap.
Adalah menjadi sangat penting bagi Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk segera membuat payung hukum kewenangan mengadili sengketa Pilkada, demi kepastian hukum itu sendiri.
Ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Perkara Sengketa Pilkada bukanlah kewenangan MK, maka mau tidak mau, suka tidak suka, perkara sengketa Pilkada bisa dipastikan menjadi kewenangan Mahkamah Agung atau Peradilan dibawahnya.
Ada beberapa masalah yang muncul jika Mahkamah Agung mengadili perkara sengketa Pilkada. Mahkamah Agung selama ini dikenal sebagai judex juris yang hanya memeriksa tentang penerapan hukum dari suatu perkara, bukan judex factie yang memeriksa fakta dan bukti. Bagaimana bisa Mahkamah Agung memeriksa perkara sengketa pilkada yang jelas-jelas judex factie?
Belum lagi jika ditilik dari jumlah perkara. Sebagai gambaran, pada tahun 2013 Mahkamah Agung menerima 22.293 perkara dan berhasil memutus 15.556 perkara, dengan jumlah Hakim Agung hanya 50 orang. Menambahkan sengketa pilkada sebagai wewenang Mahkamah Agung hanya akan menambah beban perkara, sehingga patut dikhawatirkan bila pertimbangan putusan dari perkara sengketa pilkada menjadi kurang bernas, dan berjalannya sidang perkara sengketa Pilkada itu sendiri menjadi tidak optimal.
Satu-satunya jalan keluar yang paling rasional adalah menyerahkan kewenangan perkara sengketa Pilkada kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN), yang masing-masing berkedudukan di ibukota Provinsi.
Ada beberapa kelebihan apabila sengketa perkara pilkada menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, diantaranya penyebaran jumlah perkara menjadi merata, karena PTUN/PT-TUN ada di setiap Provinsi di seluruh Indonesia.
Selain itu, penanganan perkara itu sendiri akan menjadi maksimal, karena ketersediaan jumlah Hakim yang memadai, aparat peradilan yang cukup banyak, juga jumlah ruang sidang yang mencukupi.
Saat ini, DPR dan pemerintah sedang melakukan pembahasan mengenai pemilihan langsung atau tidak langsung untuk kepala daerah, kecuali untuk Pemilihan Presiden dan Pemlihan Legislatif karena memang telah dikonstruksikan sejak awal lewat pemilihan langsung.
Hasil dari keputusan DPR dan Pemerintah ini nanti akan sangat mempengaruhi variasi dan volume perkara sengketa Pilkada, juga akan berefek langsung terhadap peluang munculnya sengketa Pilkada itu sendiri.
Jika DPR dan Pemerintah memutuskan bahwa Pilkada dipilih secara tidak langsung (lewat parlemen), maka peluang munculnya perkara sengketa Pilkada sangatlah kecil. Kebalikannya, jika DPR dan Pemerintah memutuskan bahwa Pilkada tetap melalui pemilihan langsung, maka peluang munculnya perkara sengketa Pilkada sangat terbuka lebar, seperti saat ini.
Keputusan DPR dan Pemerintah tadi juga akan berimbas kepada PTUN/PT-TUN, dimana penanganan perkara sengketa Pilkada secara tidak langsung niscaya minim gesekan dan jumlahnya pun tidak akan banyak.
Namun, jika Pilkada tetap diputuskan secara langsung, maka peluang munculnya gesekan massa, kerusuhan dalam sidang, dan juga terjadinya tindak pidana suap akan tetap tinggi.
Namun, jika Pilkada tetap diputuskan secara langsung, maka peluang munculnya gesekan massa, kerusuhan dalam sidang, dan juga terjadinya tindak pidana suap akan tetap tinggi.
Ridwan Mansyur (23/5), Kabiro Humas Mahkamah Agung, menyatakan bahwa persoalan keamanan sebab pengerahan massa pada pengadilan tingkat pertama sangat riskan. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya Undang-Undang Contempt of Court.
Masih belum lekang dalam ingatan kerusuhan di ruang Sidang Mahkamah Konstitusi saat menyidangkan perkara sengketa pilkada Maluku (4/11). Terjadinya hal yang sama dalam sidang sengketa Pilkada pemilihan langsung di PTUN/PT-TUN adalah sebuah keniscayaan.
Ketika negara belum mampu memberikan keamanan terhadap aparat pengadilan yang menyidangkan suatu perkara, maka kelancaran sidang dan kepuasan para pihak berperkara dalam menjalani perkaranya masih sebuah utopia.
Kelemahan lain yang muncul jika perkara sengketa pilkada menjadi kewenangan PTUN/PT-TUN adalah dalam bidang pengawasan dan penindakan terhadap tindak pidana suap. Jika selama ini KPK bisa menindak langsung aparat hukum yang bermain dalam sengketa pilkada, karena Mahkamah Konstitusi hanya ada di Jakarta, keberadaan PTUN/PT-TUN yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia adalah sebuah masalah.
KPK tidak mungkin mengawasi seluruh PTUN/PT-TUN dari ujung Aceh sampai Jayapura, dengan kata lain, pengawasan terhadap segala tindak pidana yang mungkin terjadi dalam penanganan perkara sengketa Pilkada menjadi kewenangan Kejaksaan atau Kejaksaan Tinggi setempat.
Mungkin perlu dirumuskan sebuah treatment khusus tentang pengawasan dan penindakan terhadap penanganan perkara sengketa Pilkada oleh Kejaksaan ata Kejaksaan Tinggi, yang sudah barang tentu memerlukan pemikiran lebih lanjut.
Apapun hasilnya nanti, DPR dan Pemerintah harus segera membuat sebuah payung hukum penanganan perkara sengketa Pilkada. Tidak menutup kemungkinan presiden untuk segera mengeluarkan PERPU, mengingat betapa pentingnya kewenangan sengketa Pilkada, sebagai salah satu pilar penopang tegaknya demokrasi di Indonesia, demi mempertegas posisi peradilan yang dapat menangani perkara pilkada yaitu, PTUN, PT TUN, atau Mahkamah Agung.
Undang-undang tentang kewenangan perkara sengketa Pilkada tadi, harus diikuti dengan munculnya Undang-undang Contempt of Court, agar masyarakat pencari keadilan bisa menghormati jalannya persidangan, juga untuk memberikan tindakan tegas terhadap semua pelaku kerusuhan di lingkungan Pengadilan yang selama ini masih kerap terjadi.