Politik dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salaf as-sholeh dikenal istilah siyasah Syar’iyyah, misalnya dalam Al-Muhiit, siyasah berakar kata . dalam kalimat berarti (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan artinya mengurusi atau mengatur perkara.
Jadi asalnya makna siyasah (politik) diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia, dan pelaku pengurusan semua urusan manusia tersebut dinamai siyasun. Dalam realitas bahasa arab dikatakan bahwa Ulul Amri mengurusi (Yasusu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang arab dikatakan : “bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masusah) bila pemeliharaannya ngengat (susah), artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (islah), pelurusan (takwin), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta’dib)" (Buletin Al-Islam, Edisi 052/tahun VII, 2002: 1-2).
Jadi asalnya makna siyasah (politik) diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia, dan pelaku pengurusan semua urusan manusia tersebut dinamai siyasun. Dalam realitas bahasa arab dikatakan bahwa Ulul Amri mengurusi (Yasusu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang arab dikatakan : “bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masusah) bila pemeliharaannya ngengat (susah), artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (islah), pelurusan (takwin), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta’dib)" (Buletin Al-Islam, Edisi 052/tahun VII, 2002: 1-2).
PEMBAHASAN
Para mujtahid selain syi’ah, berpendapat bahwa jalan untuk mengangkat kepala negara/imamah adalah melalui pemilihan atau penyesuaian pendapat (mufakat) (Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, 1971: 64), bukan melalui nash, tidak ditentukan oleh Allah dan rasulnya (Teori Politik Islam, 2001: 166), dan tidak pula melalui wasiyat atau penunjukan.
Untuk mencapai cara-cara yang disebutkan diatas maka sebelumnya perlu kita ketahui bersama syarat-syarat tentang suatu bentuk negara, yaitu :
1. Umat : sekelompok manusia yang mempunyai satu bentuk yang merupakan satu bangsa yang memiliki syarat-syarrat tertentu seperti satu sejarah hidup, satu daerah tempat tinggal, satu cita-cita, satu bahasa, serta satu agama.
2. Tempat atau kawasan atau daerah yang dapat menampung bangsa itu untuk hidup bersama-sama.
3. Undang-undang dasar yang mengikat bangsa itu dalam tindak tanduk, tingkah laku, cara hidup, dan lain sebagainya.
4. Pemimpin atau imam atau kepala negara yang memegang kekuasaan. (“Pemikiran Politik Islam”, 1988: 16)
“Negara“ adalah suatu “entitas”, suatu “yang ada“ atau suatu kenyataan yang bersifat kenyataan dan yuridis, yang terdiri dari suatu masyarakat manusia yang merupakan suatu golongan yang bebas dalam suatu daerah bersama yang kompak (bersatu padu), dan yang tunduk kepada suatu penguasa tertinggi. Dr. As-sanhuri membahas tabi’at akad imamah ini dengan ciri yang tertentu seperti yang telah dikemukakan oleh ulama'’-ulama' fiqh. Beliau berkata, akad imamah ialah : “suatu akad haqiqi. Yaitu suatu akad yang harus memenuhi segala syarat, dari segi pandangan undang-undang.
Dan akad itu berdasarkan kepada keridhaan. Tujuannya ialah supaya menjadi sumber, yang pada sumber itulah kepal negara memperoleh kekuasannya. Dia suatu akad yang terjadi antara kepala negara dan umat “. (Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, 1971: 64)
Pada kajian ini Prof. Dr Assanhuri telah mengkaji karakteristik kontrak (ikatan) keimamahan secara khusus menurut perspektif ulama' syariat Islam. Mengenai hal itu assanhri berkata :”keimamahan merupakan sebuah kontrak yang haqiqi”. Maksudnya, keimamahan (dapat dianggap sah jika) merupakan kontrak yang mencukupi syarat-syarat dilihat dari sudut hukum. Kontrak keimamahan digambarkan sebagai satu kontrak yang di dasari oleh perasaan suka rela.
Pada kajian ini Prof. Dr Assanhuri telah mengkaji karakteristik kontrak (ikatan) keimamahan secara khusus menurut perspektif ulama' syariat Islam. Mengenai hal itu assanhri berkata :”keimamahan merupakan sebuah kontrak yang haqiqi”. Maksudnya, keimamahan (dapat dianggap sah jika) merupakan kontrak yang mencukupi syarat-syarat dilihat dari sudut hukum. Kontrak keimamahan digambarkan sebagai satu kontrak yang di dasari oleh perasaan suka rela.
Kemudian dibagian lain bukunya Assanhuri juga menjelaskan bahwa ulama'-ulama' Islam telah mengetahui substansi teori Rosseau yang berbunyi bahwa seorang penguasa atau kepala negara memperoleh kekuasannya dari umat sebagaimana fungsinya sebagai wakil mereka, sebagai konsekuensi dari kontrak yang bebas antara keduanya. Para ulama' Islam telah mengetahui teori kedaulatan sebagaimana yang diungkapkan oleh Rousseau beberapa waktu kemudian, walaupun teori-teori mereka tetap mengandung nilai tambah yang spesifik. (Teori Politik Islam”, 2001: 167)
Ulama' syariat menyatakan bahwa akad adalah persetujuan-persetujuan yang dihasilkan oleh iradat manusia yang merdeka yang mewujudkan mu’amalah didalam beberapa keadaan tertentu dan syarat-syarat tertentu. Muamalat juga merupakan lawan dari bagian yang disebut ibadat. Diantara bagian mu’amalat tadi adalah transaksi “penjualan” (al-bai’) yang dapat dikatakan paling jelas dan paling banyak dilakukan juga paling banyak dilakukan sebagai percontohan natural dalam kehidupan sehari-hari dan kontrak-kontrak perdamaian, perseroan, penyewan, hibah, dan lain sebagainya. Diantara bentuk-bentuk kontrak muamalah ini -yang jelas tidak keluar dari titik persamaannya- menggabungkan bentuk interaksi seperti yang telah disebutkan diatas, kontrak keimamahan juga termasuk pada sistem yang telah diatur pada bagian ini, dan juga beberapa bentuk kotrak lain yang memiliki persamaan dengan kontrak keimamahan ini, seperti kontrak-kontrak perwakilan, penitipan dan pengadilan.
Ulama' syariat menyatakan bahwa akad adalah persetujuan-persetujuan yang dihasilkan oleh iradat manusia yang merdeka yang mewujudkan mu’amalah didalam beberapa keadaan tertentu dan syarat-syarat tertentu. Muamalat juga merupakan lawan dari bagian yang disebut ibadat. Diantara bagian mu’amalat tadi adalah transaksi “penjualan” (al-bai’) yang dapat dikatakan paling jelas dan paling banyak dilakukan juga paling banyak dilakukan sebagai percontohan natural dalam kehidupan sehari-hari dan kontrak-kontrak perdamaian, perseroan, penyewan, hibah, dan lain sebagainya. Diantara bentuk-bentuk kontrak muamalah ini -yang jelas tidak keluar dari titik persamaannya- menggabungkan bentuk interaksi seperti yang telah disebutkan diatas, kontrak keimamahan juga termasuk pada sistem yang telah diatur pada bagian ini, dan juga beberapa bentuk kotrak lain yang memiliki persamaan dengan kontrak keimamahan ini, seperti kontrak-kontrak perwakilan, penitipan dan pengadilan.
Kesucian akad sangat dipelihara oleh Islam. Allah mewajibkan kita menaikkan akad-akad itu. Banyak ayat dan hadis yang mengutarakan hal tersebut, diantaranya surat Al-maidah ayat 1, al-Isra ayat 34, dan an-nahl ayat 91.
Rakyat sebagai sumber kekuatan. Oleh karena akad terdiri dari ijab dan qabul, atau orang yang memberi akad dan yang menerima akad, maka hal itu perlulah dibahas: siapa yang memberikan ijab itu dan siapakah yang mempunyaii kepentingan dalam mewujudkan ijab itu. Orang-orang yang memperhatikan pendapat para fuqaha tentulah tidak akan ragu bahwa hal itu terdapat satu jawaban yang seiring dikataka juga oleh Dr. muhammad Jihauddin Rais yaitu: “bahwa yang melakukan ijab kabul, atau mujib bagi akad imamah ialah umat sebagai suatu kesatuan yang mempunyai kepribadian yang merdeka. Pemegang ijab ini kadang-kadang disebut “umat” dan kadang-kadang dinamakan “muslimin”. (Teori Politik Islam”, 2001: 170)
Ketika sebuah kontrak terlaksana dengan ijab (penyerahan) dan kabul (penerimaan), sesungguhnya hal yang utama dan paling penting untuk kita bahas adalah siapakah yang sesungguhnya yang berhak menjadi penyerah? Atau dengan ungkapan lain, siapakah sesungguhnya yang menciptakan dan pemilik kemaslahatan utama dari adanya kontrak itu? Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak saja hanya akan menjelaskan karakteristik kontrak itu sendiri. Jawaban itu akan menentukan unsur terpenting yang memungkinkan untuk menjelaskan karakteristik negara, yang tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kontrak tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, para ahli fiqh mengatakan bahwa ada golongan yang disebut dengan ahlul halli wal aqdi yang -disebut oleh Al-mawardy sebagai ahlul ihtiyar- yang artinya sekumpulan orang yang diserahkan kepadanya urusan untuk memilih kepala negara (yang melakukan akad). Mereka yang bertanggung jawab atas hal ini. (Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, 1971: 66)
Al-mawardi tidak mengharuskan orang yang diangkat menjadi ahlul ikhtiyar haruslah salah seorang dari penduduk kota. Tegasnya, ahlul ikhtiyar diambil dari seluruh daerah bukan dari daerah-daerah tertentu baik desa maupun kota.
Sedangkan An-nawawi menjelaskan bahwa ahlul halli wal aqdi adalah para ulama', para ketua/kepala, para pemuka masyarakat yang mudah berkumpul. Yang dimaksud dengan ketua dan para pemuka masyarakat adalah unsur-unsur yang mewujudkan kemaslahatan rakyat. Merekalah yang harus memenuhi syarat-syarat seperti yang dikemukakan oleh Al-mawardi yang berupa: (Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, 1971: 67)
1. Keadilan yang memenuhi segala syarat-syaratnya. Yang dimaksud dengan keadilan disini adalah isstiqomah, integritas (amanah), dan sifat-sifat wara’ atau dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaaan dan akhlak yang mulia. (Teori Politik Islam”, 2001: 171)
2. Pengetahuan yang dengan pengetahuan itu diketahui siapa yang berhak menjadi kepala negara.
3. Mempunyai pikiran yang sempurna dan kecakapan. Dalam hal ini yang berupa kebijaksanaan yang akan mendorong memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih dapat mewujudkan kemaslahatan umum.
Pada semua syarat diatas tidak satu syarat pun yang mensyaratkan orang tersebut harus kaya, mempunyai jumlah yang tertentu dari jumlah kekayaannya. Jika kita ingin mengungkapkannya dengan bahasa moderen bahwa syarat-syarat diatas identik dengan agama yang mulia, pengetahuan tentang hukum jabatan kekhalifahan dalam agama, dan pengetahuan politik dapat dipahami melalui dua syarat terakhir bahwa pendapat orang yang tidak berpendidikan -lebih-lebih buta hurup- tidak diperhitungkan karena orang tersebut tidak mampu untuk memilih.
Dari semua syarat diatas dapat disimpulkan bahwa institusi (ahlul ijtihad) yang dibicarakan dalam pembahasan keimamahan berbeda dengan apa yang disebutkan dalam buku- buku ilmu ushul fiqh walaupun nama keduanya sama. Mengapa pada individu-individu yang menjadi anggota institusi pertama (institusi imamah) hanya disyaratkan untuk memiliki ilmu dalam kadar yang menjadikan mereka mampu mengetahui situasi sosial dan kondisi, situasi masyarakat dan kondisi politik masyarakat serta menjadikan mereka mampu memilih yang terbaik dari kandidat yang memenuhi syarat. Sedangkan orang-orang yang menjadi elemen institusi yang kedua (institusi ijtihad) tidak hanya cukup sampai disitu.
Merekapun diyaratkan harus memenuhi kualifikasi secara agama. Ijtihad agama memiliki syarat-syarat khusus yang telah ditentukan, yaitu pencapaian tingkat tertinggi dalam keilmuan. Istilah ahlul halli wal aqdi dalam tradisi para pakar ushul fiqih juga identik dengan ahlul ijtihad dalam pengertian mereka juga. Karena itu dalam pembahasan-pembahasan syari’at Islam ada dua posisi untuk dua institusi yang satu dengan yang lainnya, walaupun kedua-duanya sama dinamakan ahlul hali wal’aqdi. Untuk pengertian institusi yang pertama mungkin dapat kita namakan instutsi politik -lebih umum dari pada pengertian institusi yang kedua yang dapat kita namakan institusi perundang-undang syari’at-. Mungkin dapat mencakup individu sedangkan institusi yang kedua mencakup kedua sisi yang utama. Mereka telah memenuhi syarat-syarat yang lebih sedikit dan secara jumlah melebihi mereka. Oleh karena itu layak diberikan penjelasan yang definitif apa yang dimaksud dengan ahlul hali wal’aqdi Ketika istilah itu disebutkan11. (Sistem Politik Islam, 1995: 326)
Ulama-ulama Islam walau berbeda-beda kecenderungan namun semuanya menetapkan bahwa pemilihan kepala negara harus dengan cara yang mubaja’ah (benar dan bebas). Dan pemilihan itu juga harus mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan kepala negara dengan permusyawaratan. Ada juga golongan yang menyatakan bahwa akad boleh dilakukan oleh orang per-orang. Dengan kata lain pengangkatan seorang imam/kepala negara harus mencerminkan kehendak publik.
1. Keadilan yang memenuhi segala syarat-syaratnya. Yang dimaksud dengan keadilan disini adalah isstiqomah, integritas (amanah), dan sifat-sifat wara’ atau dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaaan dan akhlak yang mulia. (Teori Politik Islam”, 2001: 171)
2. Pengetahuan yang dengan pengetahuan itu diketahui siapa yang berhak menjadi kepala negara.
3. Mempunyai pikiran yang sempurna dan kecakapan. Dalam hal ini yang berupa kebijaksanaan yang akan mendorong memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih dapat mewujudkan kemaslahatan umum.
Pada semua syarat diatas tidak satu syarat pun yang mensyaratkan orang tersebut harus kaya, mempunyai jumlah yang tertentu dari jumlah kekayaannya. Jika kita ingin mengungkapkannya dengan bahasa moderen bahwa syarat-syarat diatas identik dengan agama yang mulia, pengetahuan tentang hukum jabatan kekhalifahan dalam agama, dan pengetahuan politik dapat dipahami melalui dua syarat terakhir bahwa pendapat orang yang tidak berpendidikan -lebih-lebih buta hurup- tidak diperhitungkan karena orang tersebut tidak mampu untuk memilih.
Dari semua syarat diatas dapat disimpulkan bahwa institusi (ahlul ijtihad) yang dibicarakan dalam pembahasan keimamahan berbeda dengan apa yang disebutkan dalam buku- buku ilmu ushul fiqh walaupun nama keduanya sama. Mengapa pada individu-individu yang menjadi anggota institusi pertama (institusi imamah) hanya disyaratkan untuk memiliki ilmu dalam kadar yang menjadikan mereka mampu mengetahui situasi sosial dan kondisi, situasi masyarakat dan kondisi politik masyarakat serta menjadikan mereka mampu memilih yang terbaik dari kandidat yang memenuhi syarat. Sedangkan orang-orang yang menjadi elemen institusi yang kedua (institusi ijtihad) tidak hanya cukup sampai disitu.
Merekapun diyaratkan harus memenuhi kualifikasi secara agama. Ijtihad agama memiliki syarat-syarat khusus yang telah ditentukan, yaitu pencapaian tingkat tertinggi dalam keilmuan. Istilah ahlul halli wal aqdi dalam tradisi para pakar ushul fiqih juga identik dengan ahlul ijtihad dalam pengertian mereka juga. Karena itu dalam pembahasan-pembahasan syari’at Islam ada dua posisi untuk dua institusi yang satu dengan yang lainnya, walaupun kedua-duanya sama dinamakan ahlul hali wal’aqdi. Untuk pengertian institusi yang pertama mungkin dapat kita namakan instutsi politik -lebih umum dari pada pengertian institusi yang kedua yang dapat kita namakan institusi perundang-undang syari’at-. Mungkin dapat mencakup individu sedangkan institusi yang kedua mencakup kedua sisi yang utama. Mereka telah memenuhi syarat-syarat yang lebih sedikit dan secara jumlah melebihi mereka. Oleh karena itu layak diberikan penjelasan yang definitif apa yang dimaksud dengan ahlul hali wal’aqdi Ketika istilah itu disebutkan11. (Sistem Politik Islam, 1995: 326)
Ulama-ulama Islam walau berbeda-beda kecenderungan namun semuanya menetapkan bahwa pemilihan kepala negara harus dengan cara yang mubaja’ah (benar dan bebas). Dan pemilihan itu juga harus mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan kepala negara dengan permusyawaratan. Ada juga golongan yang menyatakan bahwa akad boleh dilakukan oleh orang per-orang. Dengan kata lain pengangkatan seorang imam/kepala negara harus mencerminkan kehendak publik.
Untuk membuktikan kebenaran itu ada beberapa pendapat: (Sistem Politik Islam”, 1995: 70-71)
1. Al-Asy’ari : sah-sah saja seseorang dapat menjadi imam dengan diangkat oleh seorang saja dari ahli itihad dan ahli wara’. Seorang imam adalah orang yang paling utama dimasanya serta memenuhi syarat-syarat menjadi kepala negara. Seseorang tidak dianggap sah menjadi seorang kepala negara jikalau ada orang yang lebih utama darinya.
2. Al-mawardi : ketika ahlul halli wal aqdi berkumpul untuk memilih seseorang hendaklah mereka menyelidiki orang yang akan diangkat menjadi kepala negara. Dan hendaklah lebih mendahulukan orang yang banyak keutamaannya dan sempurna syarat-syaratnya serta yang diterima oleh kalangan masyarakat untuk di bai’at.
3. Ibnu Taimiyah : Tidaklah seseorang menjadi kepala negara sebelum disetujui oleh keputusan mayoritas.
1. Al-Asy’ari : sah-sah saja seseorang dapat menjadi imam dengan diangkat oleh seorang saja dari ahli itihad dan ahli wara’. Seorang imam adalah orang yang paling utama dimasanya serta memenuhi syarat-syarat menjadi kepala negara. Seseorang tidak dianggap sah menjadi seorang kepala negara jikalau ada orang yang lebih utama darinya.
2. Al-mawardi : ketika ahlul halli wal aqdi berkumpul untuk memilih seseorang hendaklah mereka menyelidiki orang yang akan diangkat menjadi kepala negara. Dan hendaklah lebih mendahulukan orang yang banyak keutamaannya dan sempurna syarat-syaratnya serta yang diterima oleh kalangan masyarakat untuk di bai’at.
3. Ibnu Taimiyah : Tidaklah seseorang menjadi kepala negara sebelum disetujui oleh keputusan mayoritas.
Sesungguhnya maksud pengangkatan seseorang menjadi imam adalah hasil dari kekuasan. Imam adalah seorang raja dan seorang sultan, raja tidaklah menjadi raja dengan persetujuan orang-perorang, 2, 3, atau 4 orang terkecuali kalau persetujuan mereka ini merupakan persetujuan orang lain pula. Ringkasnya, boleh seorang raja melaksanakan akad itu asal orang-seorang itu adalah orang yang ditaati, yang berpengaruh, dan yang diterima oleh golongan mayoritas.
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa imamah itu dilakukan adakalanya dengan nash, dan ada pula dengan ikhtiyar, apakah pengangkatan dengan cara wilayatul ahdi (penyerahan dari seseorang kepada seseorang) merupakan suatu jalan yang baru, ataukan merupakan salah satu cara dari cara-cara ikhtiyar?
Para fuqaha menetapkan, bahwa imamah yang sah yaitu dengan cara wilayatul ahdi berdasarkan ijma’ ulama'. (Sistem Politik Islam, 1995: 326). Sedangkan Al-mawardi berkata sahnya pengangkatan dengan penunjukan seseorang adalah suatu hal kesepakatan yang diperbolehkan oleh para ulama', yang disebabkan oleh dua hal : (Teori Politik Islam”, 2001: 183)
1. Abu Bakar telah menunjuk Umar menjadi Khalifah. Hal itu diterima baik oleh para muslimin.
2. Umar menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu Syura. Dan hal itu dibenarkan oleh para sahabat karena mereka berpendapat bahwa penyerahan itu benar.
Dua ketetapan diatas juga dipergunakan oleh Ibnu Khaldun untuk menguatkan pendapatnya.
Para fuqaha menetapkan kepala negara yang ingin menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain haruslah memenuhi syarat berupa kepercayaan, wara’, ikhlas, dan jujur kepada rakyatnya, karena kepala negara yang demikian itu jika menunjuk seseorang untuk menjadi penggantinya maka pasti ia akan melihat kemaslahatan umum, dan karena dia mengetahui bahwa dia akan bertanggung jawab dihadapan Allah tentang pemilihannya maka ia tentu memilih yang paling tepat dan yang paling maslahat sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam dua kenyataan sejarah.
Bahasan lain adalah apakah boleh jika kepala negara melakukan akad tanpa menanyakan pendapat para ahlu ikhtiyar dan Pakar hukum lainnya apabila wilayatu ahdi itu diserahkan kepada yang kerabatnya, atau kepada anaknya, ayahnya?
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, bahwa imamah itu dilakukan adakalanya dengan nash, dan ada pula dengan ikhtiyar, apakah pengangkatan dengan cara wilayatul ahdi (penyerahan dari seseorang kepada seseorang) merupakan suatu jalan yang baru, ataukan merupakan salah satu cara dari cara-cara ikhtiyar?
Para fuqaha menetapkan, bahwa imamah yang sah yaitu dengan cara wilayatul ahdi berdasarkan ijma’ ulama'. (Sistem Politik Islam, 1995: 326). Sedangkan Al-mawardi berkata sahnya pengangkatan dengan penunjukan seseorang adalah suatu hal kesepakatan yang diperbolehkan oleh para ulama', yang disebabkan oleh dua hal : (Teori Politik Islam”, 2001: 183)
1. Abu Bakar telah menunjuk Umar menjadi Khalifah. Hal itu diterima baik oleh para muslimin.
2. Umar menyerahkan pengangkatan khalifah kepada ahlu Syura. Dan hal itu dibenarkan oleh para sahabat karena mereka berpendapat bahwa penyerahan itu benar.
Dua ketetapan diatas juga dipergunakan oleh Ibnu Khaldun untuk menguatkan pendapatnya.
Para fuqaha menetapkan kepala negara yang ingin menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain haruslah memenuhi syarat berupa kepercayaan, wara’, ikhlas, dan jujur kepada rakyatnya, karena kepala negara yang demikian itu jika menunjuk seseorang untuk menjadi penggantinya maka pasti ia akan melihat kemaslahatan umum, dan karena dia mengetahui bahwa dia akan bertanggung jawab dihadapan Allah tentang pemilihannya maka ia tentu memilih yang paling tepat dan yang paling maslahat sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam dua kenyataan sejarah.
Bahasan lain adalah apakah boleh jika kepala negara melakukan akad tanpa menanyakan pendapat para ahlu ikhtiyar dan Pakar hukum lainnya apabila wilayatu ahdi itu diserahkan kepada yang kerabatnya, atau kepada anaknya, ayahnya?
Walaupun terjadi perbedaan pendapat, namun semua ulama' madazhab sependapat menetapkan bahwa imamah tidak dapat diwariskan. Hal itu diperkuat dengan perkataan Ibnu Khaldun : mengangkat putra mahkota dengan maksud menurunkan kedudukan kepala negara pada anak dillakukan bukan berdasarkan atas dasar-dasar maksud keagamaan, hendaklah hal tersebut (penyerahan kepemimpinan) dilakukan dengan cara yang baik karena dikhawatirkan akan dipermain-mainkan atau di sia-siakan. Dimain-mainkan adalah ditakutkan kepemimpinan tersebut akan dijadikan barang pusaka dan dimonopolikan. At-Tabari berkata bahwa abu Bakar tidak menyerahkan imamah kepada umar kecuali setelah bermusyawarah dengan para shahabat. Mereka semua menyetujui Umar sebagai pengganti Abu Bakar. Setelah cukup bermusyawarah barulah Abu Bakar mengemukakan pendapatnya kepada umum, dan disambut oleh mereka dengan sami’na wa ato’na. (Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, 1971: 73-74)
PENUTUP
Masalah pemilihan seorang kepala negara negara adalah sebuah masalah pelik yang di hadapi oleh setiap negara. Banyak muncul permasalahan ketika terjadi pemilihan, banyaknya orang yang berambisi untuk memduduki jabatan tersebut, dihalalkannya segala cara untuk mencapainya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Islam berusaha untuk membuat aturan main tentang hal tersebut dengan maksud untuk mencapai kemaslahatan dan kedamaian serta menghindari timbulnya perpecahan di antara umatnya.
T.M Hasbi As-siddiqi berpendapat bahwa sebuah negara (Islam) lebih baik terbagi menjadi beberapa negara akan tetapi selalu bersatu dalam hal menghadapi musuh-musuhnya –dalam konteks sekarang bisa berarti saling bantu membantu dalam memajukan agama Islam- daripada bersatu menjadi sebuah negara akan tetapi terjadi kekacauan dikarenakan perselisihan tentang kepala negara. (“Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam”, 1971: 78)
Dan bisa kita ambil kesimpulan bahwa yang ditekankan dalam bahasan ini adalah pentingnya persatuan dan kesatuan umat, jangan sampai terjadi perpecahan hanay karena ada perbedaan pendapat. Jangan sampai kepluralitasan umat Islam itu menjadi halangan bagi tercapainya kerjasama yang baik antar mereka, sebagaimana sabda nabi : “Perbedaan umatku itu adalah suatu rahmat”.
PENUTUP
Masalah pemilihan seorang kepala negara negara adalah sebuah masalah pelik yang di hadapi oleh setiap negara. Banyak muncul permasalahan ketika terjadi pemilihan, banyaknya orang yang berambisi untuk memduduki jabatan tersebut, dihalalkannya segala cara untuk mencapainya, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Islam berusaha untuk membuat aturan main tentang hal tersebut dengan maksud untuk mencapai kemaslahatan dan kedamaian serta menghindari timbulnya perpecahan di antara umatnya.
T.M Hasbi As-siddiqi berpendapat bahwa sebuah negara (Islam) lebih baik terbagi menjadi beberapa negara akan tetapi selalu bersatu dalam hal menghadapi musuh-musuhnya –dalam konteks sekarang bisa berarti saling bantu membantu dalam memajukan agama Islam- daripada bersatu menjadi sebuah negara akan tetapi terjadi kekacauan dikarenakan perselisihan tentang kepala negara. (“Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam”, 1971: 78)
Dan bisa kita ambil kesimpulan bahwa yang ditekankan dalam bahasan ini adalah pentingnya persatuan dan kesatuan umat, jangan sampai terjadi perpecahan hanay karena ada perbedaan pendapat. Jangan sampai kepluralitasan umat Islam itu menjadi halangan bagi tercapainya kerjasama yang baik antar mereka, sebagaimana sabda nabi : “Perbedaan umatku itu adalah suatu rahmat”.