Oleh: Dadi Aryandi, S.Ag
Sebagian besar penyebab perceraian adalah kemelut rumah tangga yang disebabkan pertengkaran yang terus menerus. Pertengkaran suami istri dapat saja dipicu oleh sekadar rasa bosan satu terhadap yang lain; atau oleh karena masing-masing tidak memenuhi hak pasangannya; dan bisa pula karena masalah remeh temeh.
Apapun pemicu pertengkaran itu, bisa jadi menyebabkan pasangan berkeberatan memenuhi kewajibannya. Ketika salah satu tugas tidak dipenuhi, maka berarti ada suatu pembangkangan, tidak taat. Dalam Hukum Perkawinan agama Islam (Fiqh Munakahat), pembangkangan ini dikenal dengan istilah nusyuz.
Dalam kasus perceraian, perbuatan nusyuz bukan saja memperkuat pertimbangan hukum bahwa permohonan/ gugatan perceraian tersebut telah cukup alasan untuk dikabulkan, namun juga berimplikasi langsung terhadap ada/tidaknya kewajiban mantan suami utk membayar nafkah selama masa iddah kepada mantan istri, dan/atau terhadap ada-tidaknya kewajiban membayar nafkah madliyyah (nafkah lampau yang belum dibayarkan) sebelum suami-istri tersebut bercerai.
Sebagian besar penyebab perceraian adalah kemelut rumah tangga yang disebabkan pertengkaran yang terus menerus. Pertengkaran suami istri dapat saja dipicu oleh sekadar rasa bosan satu terhadap yang lain; atau oleh karena masing-masing tidak memenuhi hak pasangannya; dan bisa pula karena masalah remeh temeh.
Apapun pemicu pertengkaran itu, bisa jadi menyebabkan pasangan berkeberatan memenuhi kewajibannya. Ketika salah satu tugas tidak dipenuhi, maka berarti ada suatu pembangkangan, tidak taat. Dalam Hukum Perkawinan agama Islam (Fiqh Munakahat), pembangkangan ini dikenal dengan istilah nusyuz.
Dalam kasus perceraian, perbuatan nusyuz bukan saja memperkuat pertimbangan hukum bahwa permohonan/ gugatan perceraian tersebut telah cukup alasan untuk dikabulkan, namun juga berimplikasi langsung terhadap ada/tidaknya kewajiban mantan suami utk membayar nafkah selama masa iddah kepada mantan istri, dan/atau terhadap ada-tidaknya kewajiban membayar nafkah madliyyah (nafkah lampau yang belum dibayarkan) sebelum suami-istri tersebut bercerai.
Overview
Karena implikasinya pada ada atau tidaknya kewajiban suami terhadap istri, maka tentu saja konsep nusyuz dalam perkawinan, tidak boleh dipandang remeh. Pengadilan, dalam hal ini Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang diwarnai nusyuz, dituntut agar memeriksanya dengan lebih teliti.
Hanya saja, satu-satunya hukum positif yang membahas masalah ini hanyalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).Itupun hanya tercantum dalam beberapa pasal saja (Pasal 80, 83, 84, 149 dan 152), tidak cukup rinci, bahkan minim penjelasan.Karena dalam Penjelasan Umum Kompilasi ini hanya disebutkan:“Pasal 73-86, cukup jelas”serta tidak ada penjelasan Pasal 149 dan Pasal 152 terkait masalah nusyuz, bahkan tidak ada hukum positif lainnya yang membahas atau menjelaskan masalah nusyuz ini.
Minimnya penjelasan juga diperburuk dengan frasa-frasa dalam pasal-pasal nusyuz tersebut menggunakan kalimat-kalimat yang multitafsir.
Karena implikasinya pada ada atau tidaknya kewajiban suami terhadap istri, maka tentu saja konsep nusyuz dalam perkawinan, tidak boleh dipandang remeh. Pengadilan, dalam hal ini Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang diwarnai nusyuz, dituntut agar memeriksanya dengan lebih teliti.
Hanya saja, satu-satunya hukum positif yang membahas masalah ini hanyalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).Itupun hanya tercantum dalam beberapa pasal saja (Pasal 80, 83, 84, 149 dan 152), tidak cukup rinci, bahkan minim penjelasan.Karena dalam Penjelasan Umum Kompilasi ini hanya disebutkan:“Pasal 73-86, cukup jelas”serta tidak ada penjelasan Pasal 149 dan Pasal 152 terkait masalah nusyuz, bahkan tidak ada hukum positif lainnya yang membahas atau menjelaskan masalah nusyuz ini.
Minimnya penjelasan juga diperburuk dengan frasa-frasa dalam pasal-pasal nusyuz tersebut menggunakan kalimat-kalimat yang multitafsir.
Sebagai contoh, Pasal 83 tentang Kewajiban Istri, frasa “kewajiban utama” dalam ayat (1) melahirkan ‘celah’ penafsiran adanya kewajiban lain yang ‘bukan utama’, karena dalam ayat (2) dalam Pasal tersebut dimuat juga kewajiban lainnya. Dikotomi “kewajiban utama” dan “kewajiban lainnya” ini berkait erat dengan nusyuz atau tidaknya seorang istri, karena dalam Pasal 84 ayat (1) secara khusus dan eksplisit disebutkan kelalaian melaksanakan kewajiban utama ini berakibat pada nusyuznya seorang istri.
Patutlah dipertanyakan apakah kelalaian melaksanakan kewajiban lainnya, tidak dianggap nusyuz? Padahal nusyuz dapat menggugurkan kewajiban suami untuk memberi nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istrinya, sebagaimana bunyi Pasal 80 ayat (7). Dan bagaimanakah bentuk pembangkangan terhadap “berbakti lahir dan batin” yang dimaksudkan dalam Pasal ini?
Pada akhir kalimat dalam Pasal 84 ayat (1) membuka ruang pengecualian bagi istri yang mempunyai alasan-alasan yang sah sehingga perbuatan istri tidak dikategorikan nusyuz. Namun lagi-lagi tidak ada penjelasan lain terkait alasan seperti apa saja yang dapat mengecualikannya.
Penyebutan nusyuz dalam Kompilasi ini hanya ‘ditujukan’ bagi pihak istri, tidak bagi pihak suami. Perbuatan nusyuz istri mendapatkan ‘hukuman’ bagi istri dengan gugurnya kewajiban suami baik dalam masa nikah maupun masa iddah. Padahal dalam Pasal 79 ayat (2) dan (3) disebutkan persamaan hak dan kedudukan bagi keduanya.
Dengan demikian, untuk memenuhi rasa keadilan dalam pemeriksaan perkara nusyuz ini Majelis Hakim pemeriksa perkara seyogyanya dapat menggalinya dari norma hukum yang lain, yaitu dengan mengadopsi doktrin-doktrin para ahli fiqh dari beberapa mazhab yang bertebaran dalam berbagai literatur. Untuk kepentingan itulah makalah ini disusun dan semoga makalah ini dapat menjawab beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah nusyuz hanya terbatas bagi istri saja, sedangkan bagi suami tidak ada ada nusyuz?
2. Apa saja kriteria Nusyuz?
3. Alasan-alasan sah mana saja yang dapat menjadi pembebas dari anggapan nusyuz?
Patutlah dipertanyakan apakah kelalaian melaksanakan kewajiban lainnya, tidak dianggap nusyuz? Padahal nusyuz dapat menggugurkan kewajiban suami untuk memberi nafkah, kiswah, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istrinya, sebagaimana bunyi Pasal 80 ayat (7). Dan bagaimanakah bentuk pembangkangan terhadap “berbakti lahir dan batin” yang dimaksudkan dalam Pasal ini?
Pada akhir kalimat dalam Pasal 84 ayat (1) membuka ruang pengecualian bagi istri yang mempunyai alasan-alasan yang sah sehingga perbuatan istri tidak dikategorikan nusyuz. Namun lagi-lagi tidak ada penjelasan lain terkait alasan seperti apa saja yang dapat mengecualikannya.
Penyebutan nusyuz dalam Kompilasi ini hanya ‘ditujukan’ bagi pihak istri, tidak bagi pihak suami. Perbuatan nusyuz istri mendapatkan ‘hukuman’ bagi istri dengan gugurnya kewajiban suami baik dalam masa nikah maupun masa iddah. Padahal dalam Pasal 79 ayat (2) dan (3) disebutkan persamaan hak dan kedudukan bagi keduanya.
Dengan demikian, untuk memenuhi rasa keadilan dalam pemeriksaan perkara nusyuz ini Majelis Hakim pemeriksa perkara seyogyanya dapat menggalinya dari norma hukum yang lain, yaitu dengan mengadopsi doktrin-doktrin para ahli fiqh dari beberapa mazhab yang bertebaran dalam berbagai literatur. Untuk kepentingan itulah makalah ini disusun dan semoga makalah ini dapat menjawab beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah nusyuz hanya terbatas bagi istri saja, sedangkan bagi suami tidak ada ada nusyuz?
2. Apa saja kriteria Nusyuz?
3. Alasan-alasan sah mana saja yang dapat menjadi pembebas dari anggapan nusyuz?
Pembahasan
Kata nusyuz dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar (infinitive) dari kata ”نشز- ينشز- نشوزا” yang berarti: ”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka (al-Munawir Kamus Arab Indonesia, 1994 : 1517).
Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga.
Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga.
Menurut istilah, nusyuz difahami berbeda-beda oleh para Ahli Fiqh (Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, bab Nusyuz, Maktabah Syamilah), diantaranya:
Ulama Hanafiyah mendefinisikan nusyuz sebagai:
خُرُوجُ الزَّوْجَةِ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَابِغَيْرِ حَقٍّ(Keluarnya istri dari rumah suami tanpa hak)
Ulama Hanafiyah mendefinisikan nusyuz sebagai:
خُرُوجُ الزَّوْجَةِ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَابِغَيْرِ حَقٍّ(Keluarnya istri dari rumah suami tanpa hak)
Ulama Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah:
خُرُوجُ الزَّوْجَةِ عَنِ الطَّاعَةِ الْوَاجِبَةِلِلزَّوْجِ (Keluarnya istri dari ketaatan yang wajib kepada suami
Sebagian fuqaha menjelaskan bahwa nusyuz dengan makna istilah terdapat pada istri, bukan sebaliknya (tidak ada istilah nusyuz untuk suami), fuqaha yang lain menjelaskan bahwa nusyuz bisa terjadi pada istri juga terjadi pada suami, walaupun tidak masyhur istilah nusyuz untuk disematkan pada suami. (مواهب الجليل 4 / 15، وحاشية القليوبي 3 / 299، وحاشية الشرقاوي على شرح التحرير / 280، وكشاف القناع 5 / 209.)
Seperti yang termuat dalam kitab Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:
ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو منهما
(Nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”. (Ali Ibnu Qasim al-Gozi, al-Bajuri,juz II, hal 129)
والنشوزمن جهة الزوجة أى بحسب الأصل والغا لب لأنه قد يكون من الزوج بخروجه عن أداءالحق الواجب عليه لها وهو معا شرتهابا المعروف والقسم والمهر ولنفقه والكسوة وبقية المؤن
“Nusyuz bukan hanya isteri akan tetapi suami juga bisa melakukan hal yang sama. Suami nusyuz bisa ditandai dengan kelalaiannya atas kewajiban-kewajiban yang merupakan hak isteri yaitu mempergauli dengan ma’ruf (baik), melaksanakan pembagian dengan adil (bagi yang poligami), memberi mahar, nafkah, pakaian dan biaya-biaya yang lainnya".(Al-Bajuri, juz II, hal 129)
Atau pendapat lain menyebutkan bahwa nusyuz adalah suatu kondisi yang menggambarkan kedurhakaan, kebencian, atau penentangan suami atau isteri terhadap pasangannya. (Al-Muhaddzab hal: 69, juz: II. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, hal: 171, juz: V)
Dari beberepa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nusyuz tidak melulu bagi pihak istri, namun juga berlaku bagi pihak suami.
Yang termasuk kategori nusyuz
Ulama Malikiyyah menyatakan bahwa nusyuz terjadi jika istri melakukan hal-hal berikut:
1. Menolak “bersenang-senang” (bercumbu) dengan suami;
2. Keluar rumah tanpa izin suami ke suatu tempat yang diketahui bahwa suaminya tdk senang kalau istrinya pergi ke tempat tersebut, sementara suami tidak mampu mencegah istrinya dari awal, kemudian
mengembalikan istrinya untuk menta’atinya, jika suaminya mampu mencegah/melarangnya dari awal
(namun tidak suami lakukan) atau mampu mengembalikannya dengan damai atau dgn lewat hakim, maka istri tdk terkategori melakukan nusyuz.
3. Meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, puasa atau mandi wajib;
4. Menghalangi suami masuk rumah; (الشرح الصغير 2 / 511، وشرح الزرقاني 4 / 60، والشرح الكبير مع حاشية الدسوقي 2 / 343 )
Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang nusyuz, karena tidak adanya taslim (sikap tunduk/patuh) dari istri. Nusyuz bisa terjadi dalam masa nikah maupun masa ‘iddah.
Nusyuz dalam nikah adalah dengan menghalangi dirinya dari suaminya dengan tanpa hak, seperti hal-hal berikut:
1. Meninggalkan rumah tanpa izin;
2. Menghilang atau melakukan safar (perjalanan);
3. Melarang suami masuk rumah; Adapun jika istri tetap di rumah, walaupun dia tidak mau “disentuh”, maka suami tetap wajib memberikan nafkah.
Sedangkan nusyuz dalam masa ‘iddah adalah dengan keluar dari rumah tempat ‘iddah.
Ulama Syafi’iyyah menyatakan hal-hal yang termasuk nusyuz adalah sebagai berikut:
1. Istri keluar dari rumah tanpa izin suaminya;
2. Menutup pintu rumah (agar suami tdk bisa masuk)
3. Melarang suami membuka pintu, mengunci suami didalam rumah supaya tidak bisa keluar.
4. Tidak mau bercumbu dengan suami pada saat tidak ada udzur, semisal haidl, nifas, atau istri merasa kesakitan;
5. Ikut suami dalam perjalanan tanpa izin suami sedangkan suami melarangnya (misal istri ikut nyusul suami dalam safar suaminya, namun suami melarangnya), baik suami bisa mengembalikannya atau tidak, namun bila ternyata dalam safarnya suami bersenang-senang dengan istrinya, walaupun asalnya suami melarang ikut, maka setelah bersenang-senang tersebut istri tidak terkategori melakukan nusyuz.
Kitab Majmu’ Syarah Muhazzab menjelaskan tanda-tanda perempuan yang melakukan nusyuz:
أمارت النشوز أن لا تسرع فى أجا بته على غير عادتها أو لا تظهر احترامه ولا كرامته ولا تردعليه إلا متبرمة أو عابسة مع أطاعة فى الفراش
Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:
a. Tidak cepat menjawab suaminya padahal bukan kebiasaannya;
b. Tidak menunjukkan penghormatan kepada suaminya;
c. Mendatangi ke tempat tidur suami dengan sikap bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut. (al-Majmu’ Syarah Muhazab, juz XVII, hal : 127)
Ulama Hanabilah memberikan tanda-tanda nusyuz, diantaranya adalah:
1. Menolak diajak bercumbu; atau
2. Memenuhi ajakan namun merasa enggan dan menggerutu;
3. Rusak adab (berperilaku buruk) terhadap suaminya;
4. Bermaksiyat kepada Allah dalam kewajiban yang telah Allah bebankan kepadanya;
5. Tidak mau diajak ketempat tidur suaminya;
6. Keluar rumah suaminya tanpa izin suaminya; (المغني 7 / 46، وَكَشَّاف الْقِنَاع 5 / 7209.)
Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri lainnya:
فامارته باالقول : هو أن يكون من عادته إذادعاها أجابته با التلبية, و إذا خاطبها أجابت خطابه بكلام جميل حسن, ثم صا رت بعد ذلك إذادعا ها لاتجيب بالتلبية, و إذاخاطبها او كلمها لاتجيب بكلام جميل. وظهور امارنه بالفعل : هو أن يكون من عادته إذا دعاها إلى الفراش أجابته بباسط طلقة الوجه, ثم صارت بعد ذلك تأتيه متكر هة. أو كان من عادتها إذادخل اليها قامت له وخدمته, ثم صارت لاتقوم له ولا تخدمه
Pertama: Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Kedua: Nusyuz dengan perbuatan adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Juga kalau biasanya apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi. (al-Bayan syarah al-Muhazzab, bab an-Nusyuz, jilid IX, hal 528.)
Secara ringkas, Nusyuz menurut beberapa mazhab dapat diuraikan dalam tabel berikut ini:
1. Menolak “bersenang-senang” (bercumbu) dengan suami;
2. Keluar rumah tanpa izin suami ke suatu tempat yang diketahui bahwa suaminya tdk senang kalau istrinya pergi ke tempat tersebut, sementara suami tidak mampu mencegah istrinya dari awal, kemudian
mengembalikan istrinya untuk menta’atinya, jika suaminya mampu mencegah/melarangnya dari awal
(namun tidak suami lakukan) atau mampu mengembalikannya dengan damai atau dgn lewat hakim, maka istri tdk terkategori melakukan nusyuz.
3. Meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, puasa atau mandi wajib;
4. Menghalangi suami masuk rumah; (الشرح الصغير 2 / 511، وشرح الزرقاني 4 / 60، والشرح الكبير مع حاشية الدسوقي 2 / 343 )
Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang nusyuz, karena tidak adanya taslim (sikap tunduk/patuh) dari istri. Nusyuz bisa terjadi dalam masa nikah maupun masa ‘iddah.
Nusyuz dalam nikah adalah dengan menghalangi dirinya dari suaminya dengan tanpa hak, seperti hal-hal berikut:
1. Meninggalkan rumah tanpa izin;
2. Menghilang atau melakukan safar (perjalanan);
3. Melarang suami masuk rumah; Adapun jika istri tetap di rumah, walaupun dia tidak mau “disentuh”, maka suami tetap wajib memberikan nafkah.
Sedangkan nusyuz dalam masa ‘iddah adalah dengan keluar dari rumah tempat ‘iddah.
Ulama Syafi’iyyah menyatakan hal-hal yang termasuk nusyuz adalah sebagai berikut:
1. Istri keluar dari rumah tanpa izin suaminya;
2. Menutup pintu rumah (agar suami tdk bisa masuk)
3. Melarang suami membuka pintu, mengunci suami didalam rumah supaya tidak bisa keluar.
4. Tidak mau bercumbu dengan suami pada saat tidak ada udzur, semisal haidl, nifas, atau istri merasa kesakitan;
5. Ikut suami dalam perjalanan tanpa izin suami sedangkan suami melarangnya (misal istri ikut nyusul suami dalam safar suaminya, namun suami melarangnya), baik suami bisa mengembalikannya atau tidak, namun bila ternyata dalam safarnya suami bersenang-senang dengan istrinya, walaupun asalnya suami melarang ikut, maka setelah bersenang-senang tersebut istri tidak terkategori melakukan nusyuz.
Kitab Majmu’ Syarah Muhazzab menjelaskan tanda-tanda perempuan yang melakukan nusyuz:
أمارت النشوز أن لا تسرع فى أجا بته على غير عادتها أو لا تظهر احترامه ولا كرامته ولا تردعليه إلا متبرمة أو عابسة مع أطاعة فى الفراش
Tanda-tanda nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:
a. Tidak cepat menjawab suaminya padahal bukan kebiasaannya;
b. Tidak menunjukkan penghormatan kepada suaminya;
c. Mendatangi ke tempat tidur suami dengan sikap bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut. (al-Majmu’ Syarah Muhazab, juz XVII, hal : 127)
Ulama Hanabilah memberikan tanda-tanda nusyuz, diantaranya adalah:
1. Menolak diajak bercumbu; atau
2. Memenuhi ajakan namun merasa enggan dan menggerutu;
3. Rusak adab (berperilaku buruk) terhadap suaminya;
4. Bermaksiyat kepada Allah dalam kewajiban yang telah Allah bebankan kepadanya;
5. Tidak mau diajak ketempat tidur suaminya;
6. Keluar rumah suaminya tanpa izin suaminya; (المغني 7 / 46، وَكَشَّاف الْقِنَاع 5 / 7209.)
Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri lainnya:
فامارته باالقول : هو أن يكون من عادته إذادعاها أجابته با التلبية, و إذا خاطبها أجابت خطابه بكلام جميل حسن, ثم صا رت بعد ذلك إذادعا ها لاتجيب بالتلبية, و إذاخاطبها او كلمها لاتجيب بكلام جميل. وظهور امارنه بالفعل : هو أن يكون من عادته إذا دعاها إلى الفراش أجابته بباسط طلقة الوجه, ثم صارت بعد ذلك تأتيه متكر هة. أو كان من عادتها إذادخل اليها قامت له وخدمته, ثم صارت لاتقوم له ولا تخدمه
Pertama: Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka ia menjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Kedua: Nusyuz dengan perbuatan adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Juga kalau biasanya apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi. (al-Bayan syarah al-Muhazzab, bab an-Nusyuz, jilid IX, hal 528.)
Secara ringkas, Nusyuz menurut beberapa mazhab dapat diuraikan dalam tabel berikut ini:
Beberapa Alasan sebagai Pengecualian dari Nusyuz
Perbuatan istri yang termasuk kategori nusyuz, dapat dianggap tidak nusyuz jika disertai beberapa alasan berikut:
1. Keluar rumah tanpa izin tidak termasuk nusyuz jika dilakukan karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Menghadap qadli(hakim) untuk mencari kebenaran;
b. Mencari nafkah jika suaminya kesulitan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga;
c. Meminta fatwa (‘ilmu) jika suaminya bukan orang yang kompeten;
d. Membeli keperluan rumah tangga seperti tepung atau roti atau membeli keperluan yang memang harus dibeli;
e. Menghindar karena khawatir rumahnya roboh;
f. Pergi kesekitar rumah menemui tetangga utk berbuat baik kpd mereka;
g. Sewa rumah habis atau yang meminjamkan rumah sudah datang (sehingga harus keluar tanpa harus menunggu suami)
Hal senada mengenai keluarnya istri karena kekahawatiran rumahnya ambruk, dijelaskan dalam Kitab lain:
قَوْلُهُ : ( خَوْفًا مِنَ الضَّرَرِ ) وَيُلْحَقُ بِهِ خَوْفُهَا مِنْ سَارِقٍ أَوْ فَاسِقٍ أَوْ مِنْ ضَرْبِهِ الْمُبَرِّحِ
"Ucapan mushannif [karena khawatir tertimpa dharar], disamakan dengan itu kekhawatirannya dari pencuri, orang fasiq, atau dari pukulan suaminya yang menyakiti." (Hasyiyah Qulyubi ma'a syarhihi, 4/79)
2. Mencaci maki
Istri mencaci suami atau menyakiti hati suami dengan ucapannya tidaklah termasuk dalam kategori nusyuz, walaupun istri berdosa karena hal tersebut dan suami harus mendidiknya;
3. Menolak berhubungan badan dengan alasan.
Bagi perempuan yang dimadu, menolak untuk berhubungan badan karena suami menghendakinya dengan dilakukannya bersama istri-istri yang lain, tidak dikategorikan nusyuz.
قَوْلُهُ إلَّا بِرِضَاهُنَّ) إذَا جَمَعَهُنَّ بِمَسْكَنٍ وَاحِدٍ بِرِضَاهُنَّ كُرِهَ لَهُ وَطْءُ إحْدَاهُمَا بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لِأَنَّهُ دَنَاءَةٌ وَسُوءُ عِشْرَةٍ وَلَوْ طَلَبَهَا لَمْتَلْزَمْهَا الْإِجَابَةُ وَلَا تَصِيرُ بِالِامْتِنَاعِ نَاشِزَةً
“Dan ketika semua isteri telah meridloi disatukan dalam satu tempat oleh suaminya, itupun masih dihukumi makruh bila suami sampai menjima’ salah seorangnya.Tindakan/perlakuan suami seperti ini termasuk danaa-ah (kekejian/kehinaan (prilaku) dan termasuk perlakuan yang jelek. Meskipun suami memintanya untuk melakukan itu, si istri tidak harus memenuhinya, bahkan penolakan istri tidak termasuk nusyuz.” (Asnal Matholib fii Syarhi Raudl al- Thullab, Imam Zakaria Al Anshoriy)
Nusyuz diidentikkan dengan penentangan atau pembangkangan. Namun demikian, penentangan terhadap sesuatu yang tidak wajib dipatuhi tidak dapat digolongkan nusyuz seperti si istri yang menuntut sesuatu yang luar kemampuan suami, maka penentangan suami tidak termasuk nusyuz. (Al-Muhaddzab hal: 69, juz: II. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, hal: 171, juz: V)
Esensi dari beberapa doktrin di atas juga dapat menjelaskan frase “alasan yang sah” dalam Pasal 84 ayat (1), yang dimaksudkan bahwa bila penentangan/ pembangkangan yang dilakukan istri sebagai akibat/ reaksi atau terprovokasi perilaku suami, yang perilaku suami tersebut dapat dikategorikan sebagai alasan yang sah bagi istri untuk menggugat cerai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116.
Kesimpulan
Dari sekilas pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Nusyuz adalah pembangkangan suami/ istri pada pasangannya;
2. Nusyuz istri berimplikasi pada gugurnya kewajiban suami, dan nafkah selama masa iddah. Namun tidak berlaku sebaliknya; nusyuz suami tidak menggugurkan kewajiban istri, tetapi dalam beberapa hal, hanya sebatas bisa dijadikan alasan ‘dibolehkannya’ melakukan perbuatan yang termasuk nusyuz serta dibolehkannya menggugat cerai;
1. Keluar rumah tanpa izin tidak termasuk nusyuz jika dilakukan karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Menghadap qadli(hakim) untuk mencari kebenaran;
b. Mencari nafkah jika suaminya kesulitan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga;
c. Meminta fatwa (‘ilmu) jika suaminya bukan orang yang kompeten;
d. Membeli keperluan rumah tangga seperti tepung atau roti atau membeli keperluan yang memang harus dibeli;
e. Menghindar karena khawatir rumahnya roboh;
f. Pergi kesekitar rumah menemui tetangga utk berbuat baik kpd mereka;
g. Sewa rumah habis atau yang meminjamkan rumah sudah datang (sehingga harus keluar tanpa harus menunggu suami)
Hal senada mengenai keluarnya istri karena kekahawatiran rumahnya ambruk, dijelaskan dalam Kitab lain:
قَوْلُهُ : ( خَوْفًا مِنَ الضَّرَرِ ) وَيُلْحَقُ بِهِ خَوْفُهَا مِنْ سَارِقٍ أَوْ فَاسِقٍ أَوْ مِنْ ضَرْبِهِ الْمُبَرِّحِ
"Ucapan mushannif [karena khawatir tertimpa dharar], disamakan dengan itu kekhawatirannya dari pencuri, orang fasiq, atau dari pukulan suaminya yang menyakiti." (Hasyiyah Qulyubi ma'a syarhihi, 4/79)
2. Mencaci maki
Istri mencaci suami atau menyakiti hati suami dengan ucapannya tidaklah termasuk dalam kategori nusyuz, walaupun istri berdosa karena hal tersebut dan suami harus mendidiknya;
3. Menolak berhubungan badan dengan alasan.
Bagi perempuan yang dimadu, menolak untuk berhubungan badan karena suami menghendakinya dengan dilakukannya bersama istri-istri yang lain, tidak dikategorikan nusyuz.
قَوْلُهُ إلَّا بِرِضَاهُنَّ) إذَا جَمَعَهُنَّ بِمَسْكَنٍ وَاحِدٍ بِرِضَاهُنَّ كُرِهَ لَهُ وَطْءُ إحْدَاهُمَا بِحَضْرَةِ الْأُخْرَى لِأَنَّهُ دَنَاءَةٌ وَسُوءُ عِشْرَةٍ وَلَوْ طَلَبَهَا لَمْتَلْزَمْهَا الْإِجَابَةُ وَلَا تَصِيرُ بِالِامْتِنَاعِ نَاشِزَةً
“Dan ketika semua isteri telah meridloi disatukan dalam satu tempat oleh suaminya, itupun masih dihukumi makruh bila suami sampai menjima’ salah seorangnya.Tindakan/perlakuan suami seperti ini termasuk danaa-ah (kekejian/kehinaan (prilaku) dan termasuk perlakuan yang jelek. Meskipun suami memintanya untuk melakukan itu, si istri tidak harus memenuhinya, bahkan penolakan istri tidak termasuk nusyuz.” (Asnal Matholib fii Syarhi Raudl al- Thullab, Imam Zakaria Al Anshoriy)
Nusyuz diidentikkan dengan penentangan atau pembangkangan. Namun demikian, penentangan terhadap sesuatu yang tidak wajib dipatuhi tidak dapat digolongkan nusyuz seperti si istri yang menuntut sesuatu yang luar kemampuan suami, maka penentangan suami tidak termasuk nusyuz. (Al-Muhaddzab hal: 69, juz: II. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, hal: 171, juz: V)
Esensi dari beberapa doktrin di atas juga dapat menjelaskan frase “alasan yang sah” dalam Pasal 84 ayat (1), yang dimaksudkan bahwa bila penentangan/ pembangkangan yang dilakukan istri sebagai akibat/ reaksi atau terprovokasi perilaku suami, yang perilaku suami tersebut dapat dikategorikan sebagai alasan yang sah bagi istri untuk menggugat cerai sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116.
Kesimpulan
Dari sekilas pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Nusyuz adalah pembangkangan suami/ istri pada pasangannya;
2. Nusyuz istri berimplikasi pada gugurnya kewajiban suami, dan nafkah selama masa iddah. Namun tidak berlaku sebaliknya; nusyuz suami tidak menggugurkan kewajiban istri, tetapi dalam beberapa hal, hanya sebatas bisa dijadikan alasan ‘dibolehkannya’ melakukan perbuatan yang termasuk nusyuz serta dibolehkannya menggugat cerai;