Saturday, May 21, 2011

Pernikahan Beda Agama

Pujangga William Shakespeare pernah berkata bahwa "Cinta itu Buta". Ungkapan yang sangat masyhur (dan tepat) itu seringkali terbukti dalam kehidupan sehari-hari, tidak melihat umur, jenis kelamin, suku, ras, bangsa, bahkan agama. Yang disebut terakhir (perbedaan agama) adalah tembok yang paling krusial dan rawan yang harus ditembus
oleh pasangan yang sedang dimabuk cinta, yang ingin melangkahkan kakinya ke tahap pernikahan, sehingga muncul istilah perkawinan beda agama (interfaith marriage). 

Tulisan ini tidak hendak membahas masalah perkawinan beda agama dengan pembahasan dari sisi agama, akan tetapi mencoba membahas masalah perkawinan beda agama dari sisi Hukum.
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dengan pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) adalah kalau pengertian perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perkawinan merupakan ikatan lahiriah namun tidak memperhatikan urusan batiniah, sedangkan Undang-Undang Perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan bathin yang mana keduanya harus terpadu erat menjadi satu kesatuan.Oleh karenanya dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991) Pasal 40 juga sangat jelas menyebut bahwa seorang pria Islam dilarang menikahi seorang wanita non-Islam. Meskipun banyak perdebatan tentang kedudukan KHI dalam tata perundang-undangan di Indonesia, namun meskipun KHI bukan bertaraf Undang-undang, tetapi dari segi teknis dan formil dia dapat digolongan Statue Law, karena secara teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No.1 Tahun 1991.
Secara hukum perundangan-undangan, baik UU No. 01 Tahun 1974 maupun KHI hanya mengakui perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama dan kepercayaan yang sama dari dua orang yang berlainan jenis yang hendak melangsungkan perkawinan.

Disisi lain, Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986 menyatakan bahwa “bahwa perkawinan antar agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama” dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen).

Sampai di sini, terjadi kontradiksi antara yurisprudensi dan Undang-undang yang menimbulkan kesan ketidak pastian hukum. Hanya saja, Indonesia menganut sistem Civil Law (Sistem hukum umum di Eropa/kontinental yang mengutamakan penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis) dan bukan Common Law (Sistem hukum yang dianut di USA/Anglo Saxon yang mengutamakan Judge Make Law dengan sistem juri). Dalam sistem hukum Civil Law, ada kaidah “Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku”, Jadi, undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi atau “Statue Law Prevail”. Oleh karena itu, meskipun dalam praktiknya Hakim juga bertindak “Judge Make Law” yang menciptakan lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, namun kedudukan formilnya tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis yurisprudensi tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukkan formil undang-undang lebih unggul dari yurispridensi. Sehingga dengan ini, maka dapat dipahami bahwa yurisprudensi tersebut sangat jarang dipakai (bahkan cenderung dikesampingkan) hingga sekarang.

Perkawinan yang sah juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku hal ini diatur di dalam (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Untuk melaksanakan pencatatan, Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyatakan, bahwa bagi yang beragama Islam oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (KUA), sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, maka lembaga catatan sipil ikut berperan dalam suatu perkawinan, yaitu sebagai lembaga pencatat perkawinan, terutama terhadap perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya selain agama Islam. Kantor Catatan Sipil/KUA dalam melaksanakan tugasnya sebagai instansi pencatat perkawinan berhak untuk menolak mencatatkan perkawinan yang tidak dibenarkan oleh agama yang dianut oleh pasangan yang akan melangsungkan perkawinan.

Segala penjelasan diatas, menggambarkan bahwa pernikahan beda agama secara hukum tidak dapat dibenarkan. Muncul pertanyaan: Adakah cara untuk “mensiasati” jika ada yang benar-benar ingin melaksanakan pernikahan beda agama? Ada beberapa cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini:
1.  Salah satu pihak melakukan perpindahan agama secara permanen. Ini adalah jalan keluar yang sangat disarankan
2.  Salah satu pihak melakukan perpindahan agama (yang berarti penyelundupan hukum), namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
3. Mencari lembaga alternatif untuk menikahkan, atau melaksanakan pernikahan di luar negeri, kemudian melaporkan pernikahan tersebut ke Catatan Sipil/KUA dengan menuliskan kolom “agama” dalam Akta Nikah sesuai dengan agama pasangannya (yang berarti penyelundupan hukum). Cara ini sangat tidak disarankan.
Jika dibahas secara sosial (keluar dari aspek hukum), maka saya punya satu kalimat: “Bila cinta adalah alasan utama, bila agama memang tak jadi soal, dan bila keyakinan tak menjadi penghalang, mengapa mesti ada perkawinan beda agama? Bukankah pindah agama demi cinta agar bisa menjadi satu dalam sebuah rumah tangga adalah hal yang mudah untuk pelakunya? Kenapa masih bisa egois mempertahankan agamanya masing-masing?” Inilah ironi yang terjadi dalam pernikahan beda agama.
Dan sekali lagi, William Shakespeare memang benar, bahwa “Cinta itu Buta.
Share this history on :
Comments
1 Comments

1 Komentar:

Kawan Belajar Hukum said... GM

Luar biasa semoga bisa terus berkemang memajukan hukum Indonesia

Post a Comment

Disqus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...