Thursday, May 19, 2011

Intervensi dalam Perkara Perdata

Universitas Hasanudin, Universitas Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas  Andalas dan Universitas Sriwijaya mengajukan gugatan bantahan menolak eksekusi putusan susu formula mengandung enterobacter sakazakii. Para Pemohon memohon Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan kasasi Mahkamah Agung (MA) Nomor 2975 K/PDT/2009 tidak dapat dilaksanakan.
Salah satu dalil yang diajukan oleh Pemohon di atas adalah obyektivitas dan independensi dari dosen dalam melakukan penelitian perlu tetap dijaga agar setiap penelitian yang merupakan bagian rangkaian dalam pencarian kebenaran ilmiah untuk memajukan ilmu pengetahuan.
Permohonan ini adalah sebuah perkara baru dalam dunia hukum, dimana sebuah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dimohonkan “pembatalan eksekusi” atau “dicabut sifat eksekutorialnya” atau “dibatalkan” oleh pihak ketiga yang “merasa punya kepentingan” secara tidak langsung dan tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan para pihak perkara aquo.
Secara sekilas, dapat disimpulkan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon di atas merupakan salah satu bentuk intervensi. Yang perlu kita bahas terlebih dahulu: Seperti apakah intervensi itu sebenarnya?
Intervensi adalah suatu perbuatan hukum oleh pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang berlangsung. Intinya pihak serta pihak ketiga dalam proses perkara. Intervensi tidak diatur dalam HIR atau RBg., tetapi berpedoman pada Rv, Pasal 279 Rv dst. dan Pasal 70 Rv.
Intervensi ada tiga macam:
1.    Tussenkomst (menengahi).
Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara itu atas alasan ada kepentingannya yang terganggu (membela kepentingannya sendiri/melawan kepentingan kedua belah pihak). Intervensi diajukan karena pihak ketiga merasa bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat. Permohonan intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan, maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.
Ciri-ciri tussenkomst :
a.          a. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri.
  1. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian kehilangan haknya yang terancam.
  2. Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara.
  3. Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara (penggabungan tuntutan).
2.    Voeging (menyertai).
Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada penggugat atau tergugat. Biasanya Voeging ini dilakukan oleh pihak ketiga yang merasa kepentingannya “terganggu” akibat gugatan dari pihak penggugat.
Ciri-ciri voeging diantaranya:
a.        a.  Sebagai pihak yang berkepentingan dan berpihak kepada pihak tergugat.
  1. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan ialah membela salah satu yang bersengketa.
  2. Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara.
Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim memberi kesempatan kepada para pihak untuk menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela, dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.
3.    Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin).
Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat). Vrijwaring diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses pemeriksaan perkara oleh tergugat secara lisan atau tertulis.
Misalnya: Tergugat digugat oleh penggugat karena barang yang dijual Tergugat mempunyai cacat, padahal tergugat membeli barang tersebut dari pihak ketiga, maka tergugat menarik pihak ketiga tersebut agar pihak ketiga itu bertanggung jawab atas cacat itu.
Ciri-ciri vrijwaring
a.        a.  Merupakan penggabungan tuntutan.
  1. Salah satu pihak yang bersengketa (tergugat) menarik pihak ketiga ke dalam sengketa.
  2. Keikutsertaan pihak ketiga, timbul karena dipaksa dan bukan karena kehendaknya.
Hakim memberi kesempatan para pihak untuk menanggapi permohonan tersebut, selanjutnya dijatuhkan putusan yang menolak atau mengabulkan permohonan tersebut.
Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan tersebut merupakan putusan akhir yang dapat dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan perkara pokok.
Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka dengan sendirinya perkara intervensinya juga tidak dapat diteruskan dan yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan tersendiri.
Apabila permohonan dikabulkan, maka putusan tersebut merupakan putusan sela, yang dicatat dalam Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi ke dalam perkara pokok.
Setelah melihat penjelasan dari intervensi di atas, dan jika dilihat dari duduk perkaranya, maka subtansi dari permohonan pembatalan ini adalah perkara intervensi (voeging), namun bagaimanapun pengajuan perkara ini telah kadaluarsa, sehingga layak untuk tidak dapat diterima. Dan secara normatif, tidak ada yang dapat mengajukan permohonan pembatalan eksekusi terhadap suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan alasan apapun.
Kalaupun benar-benar ingin dicari seperti apa bentuk permohonan ini sebenarnya, mungkin dapat kita tarik kepada derdenverzet, di mana para Pemohon tersebut adalah pihak ketiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh putusan bakteri sakazakii ini. Hanya saja, tetap ada satu masalah bahwa dalam derdenverzet pihak ketiga yang mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja, tetapi harus nyata-nyata telah dirugikan hak-haknya, dan inilah yang belum tergambar dengan nyata.
Atau mau menggunakan perlawanan terhadap sita eskekutorial? Tidak tepat juga karena yang dapat mengajukan perlawanan terhadap sita hanyala pihak yang kalah, dan perlawanan itupun tetap tidak akan menghambat dilaksanakannya isi putusan/eksekusi, kecuali apabila Ketua Pengadilan berpendapat lain, dan bantahan mengenai pokok perkara yang telah diputuskan dalam putusan tidak dapat digunakan untuk melawan sita/pelaksanaan putusan, padahal bantahan yang diberikan oleh para Pemohon diatas adalah bantahan dalam pokok perkaranya.
Namun patut kita cermati perkembangan perkara ini, barangkali ada terobosan hukum yang dapat kita jadikan tambahan ilmu dan wawasan dalam studi keilmuan hukum.
Share this history on :
Comments
0 Comments

0 Komentar:

Post a Comment

Disqus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...