Manusia memiliki kemampuan dan kelebihan dalam hal penalaran, perasaan, dan pengindraan yang dengan itu manusia mampu membuat dan menciptakan sesuatu dan mampu mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya. Penemuan-penemuan tersebut menimbulkan kesadaran tentang adanya hak baru di luar hak kebendaan atau barang. Pengakuan atas segala temuan, ciptaan, dan kreasi baru yang ditemukan dan diciptakan baik oleh individu atau kelompok telah melahirkan apa yang disebut dengan Hak Milik Intelektual (HAMI) atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Corpus Juris adalah yang pertama kali menyadari adanya “hak milik” yang berupa ciptaan dalam bentuk tulisan atau lukisan di atas kertas, namun pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (Materielles Eigentum) dan benda tidak nyata (immaterielles Eigentum) yang merupakan produk kreatifitas manusia. Istilah Immaterielles Eigetum inilah yang sekarang disebut dengan hak milik intelektual (HAMI), atau hak atas kekayaan intelektual (HAKI) yang merupakan terjemahan dari dari kata “geistiges eigentum”, atau “intellectual property right”. (Syafrinaldi, 2001: 1)
Di Indonesia, pengakuan dan perlindungan terhadap kekayaan intelektual telah dilakukan sejak dahulu, dan sejarah hukum tentang perlindungan HAMI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum serupa di Belanda. Undang-undang Hak Cipta (UUHC) yang pertama berlaku di Indonesia adalah UUHC tanggal 23 September 1912 yang diamandemen oleh UU No 6 tahun 1982, kemudian disempurnakan kembali pada tahun 1987, tahun 1989 dikeluarkankanlah Undang-undang Hak Cipta, pada tahun 1992 dikeluarkan Undang-undang Hak Milik, dan yang terakhir dikeluarkan UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, hak cipta diakui dan mempunyai perlindungan hukum yang sah, dan pelanggarnya dapat dituntut dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun dan atau denda maksimal Rp 5.000.000.000.00.
Menurut UU No. 19 Tahun 2002, Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang¬undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat (1)).
Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial (Pasal 2 ayat (2))
Jenis-jenis karya dan ciptaan yang dilindungi adalah yang tercakup dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra:
a. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta
i. seni batik;
j. photografi
k. sinematografi
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengaliwujudan.
Hak cipta terhadap apa yang disebutkan diatas (terkecuali Software komputer dan beberapa hal lain) berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya (Pasal 29).
Berlakunya Undang-undang ini telah membuka babak baru perlindungan hak cipta dan karya di Indonesia. Sekarang, setiap orang tidak bisa semena-mena meniru, memplagiat atau mengambil dan mengklaim sesuatu kekayaan intelektual seseorang untuk kepentingannya pribadi.
Walaupun begitu, dalam UU ini juga tetap disebutkan bahwa tidak semua hal merupakan pelanggaran terhadap Kekayaan Intelektual/Hak Cipta, karena tetap diperbolehkan memperbanyak suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang bersifat non komersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya;
Akan tetapi, ada satu pasal mengganjal dalam Undang-undang ini, yaitu pada Pasal 72 ayat 3 UU Hak Cipta yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta”.
Pengertian sederhana dari pasal tersebut adalah: Kalau penggandaan/penyebarluasan/penyebaran software (sekali lagi: khusus software komputer) untuk komersial dilarang, namun jika digunakan tidak untuk kepentingan komersial maka diperbolehkan.
Jadi, jika suatu software bajakan dipakai oleh pengguna rumahan/pribadi atau perkantoran pemerintahan atau LSM non provit karena non-komersial itu bukanlah suatu “pembajakan yang tidak dapat dipidana”, sedangkan jika software bajakan tersebut dipakai oleh warnet, karena komersial, maka itu adalah “pembajakan yang dapat dipidana”. Benarkah seperti itu?
Sebagai perbandingan, mari kita lihat End User License Agreement (Perjanjian Lisensi) salah satu software populer di Indonesia:
By using the software, you accept these terms. If you do not accept them, do not use the software. (Scope Of License) The software is licensed, not sold....You may not:
- Make more copies of the software than specified in this agreement or allowed by applicable law, despite this limitation;
- Publish the software for others to copy;
- Rent, lease or lend the software; or
- Use the software for commercial software hosting services.
Yang dikutip diatas adalah beberapa isi End User License Agreement (Perjanjian Lisensi) Windows 7 yang harus disetujui oleh para semua pemakai windows (dalam hal ini windows 7). EULA ini dapat ditemukan di DVD Windows 7 atau di folder /system32.
Inti dari EULA yang dikutip itu adalah: “Perjanjian ini harus diterima oleh semua pengguna windows. Software ini tidak dijual, melainkan hanya dengan system pemberian lisensi. Pengguna tidak boleh: Mengcopy, menyebarluaskan (termasuk meminjamkan) dan menyewakan software ini
EULA diatas sangat berbeda dibandingkan dengan salah satu jenis lain hak cipta, yaitu lisensi Creative Common yang mana sangat tergantung dengan mana yang dipilih, membatasi hanya suatu (atau tidak ada sama sekali) hak atas suatu karya yang terbagi ke dalam 4 macam:
1. Atribusi (attribution, A, “by”): Mengizinkan orang lain untuk menyalin, mendistribusikan, menampilkan, serta membuat karya turunan berdasarkan suatu karya hanya jika orang tersebut memberikan penghargaan pada pencipta atau pemberi lisensi dengan cara yang disebutkan dalam lisensi.
2. Non komersial (noncommercial, NK, “nc”): Mengizinkan orang lain menyalin, mendistribusikan, menampilkan, serta membuat karya turunan berdasarkan suatu karya hanya untuk tujuan non komersial.
3. Tanpa karya turunan (no derivative works, noderivs, TKT, “nd”): Mengizinkan orang lain menyalin, mendistribusikan, dan menampilkan hanya salinan sama persis (verbatim) suatu karya, bukan karya turunan yang berdasarkan karya tersebut.
4. Pembagian serupa (share-alike, PS, “sa”): Mengizinkan orang lain untuk mendistribusikan suatu karya turunan hanya di bawah suatu lisensi yang identik dengan lisensi yang diberikan pada karya aslinya. (Lihat pula copyleft.)
Dan jenis Hak Cipta yang disebutkan dalam UU No. 19 Tahun 2002 bukanlah jenis Hak Cipta Creative Common (selain attribution), akan tetapi Hak Cipta murni.
Indonesia saat ini telah meratifikasi konvensi internasional di bidang Hak Cipta, yaitu : Berne Convention tanggal 7 Mei 1997 dengan Keppres No. 18/1997 dan dinotifikasikan ke WIPO pada tanggal 5 September 1997. Berne Convention tersebut mulai berlaku efektif di Indonesia tanggal 5 September 1997. Dengan berlakunyaa Berne Convention berarti sebagai konsekuensinya Indonesia harus melindungi ciptaan dari seluruh anggota Berne Convention, yang berarti pasal klausula komersial dan non-komersial ini sudah seharusnya ditiadakan, karena pembajakan, apapun bentuknya adalah tetap pembajakan.
Namun disisi lain, dalam EULA Windows 7 tersebut ada klausula berbunyi: “(Applicable Law) a) United States. If you acquired the software in the United States, Washington state law governs the interpretation of this agreement and applies to claims for breach of it, regardless of conflict of laws principles. The laws of the state where you live govern all other claims, including claims under state consumer protection laws, unfair competition laws, and in tort. b) Outside the United States. If you acquired the software in any other country, the laws of that country apply”.
Inti dari klausula diatas berisi: Apabila terjadi pelanggaran hak cipta terhadap produk ini di wilayah USA, maka perjanjian ini telah diatur untuk dapat di klaim apabila terjadi pelanggaran, sedangkan apabila terjadi pelanggaran hak cipta di luar USA, maka akan menyesuaikan dengan hukum yang berlaku di negara tersebut.
Dengan kata lain, selama UU Hak Cipta ini belum diganti, maka penggunaan software bajakan (termasuk windows) untuk tujuan non-komersial dapat dibenarkan, dan UU ini hanya memiliki taring terhadap software bajakan untuk tujuan komersial. Padahal tidak seharusnya seperti itu.