Menkominfo Tifatul Sembiring berencana akan menggelar dialog dengan Mahkamah Agung (MA) untuk menjelaskan peraturan izin Frekuensi ke pengadilan berkaitan dengan vonis 4 tahun eks Dirut IM2 Indar Atmanto.
Dan untuk yang kesekian kalinya, intervensi terhadap indepensi kekuasaan kehakiman (yudikatif) dilakukan oleh pihak lain,
entah itu eksekutif maupun legislatif.
entah itu eksekutif maupun legislatif.
Di era reformasi, pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif kini berusaha diletakkan masing-masing pada tempatnya setelah sekian lama porak poranda, tercampur aduk dan saling mempengaruhi, namun tetap tampak seperti usaha setengah hati.
Salah satu asas hukum dasar res judicata pro veritate habetur (Putusan Hakim dianggap benar) menyatakan bahwa sebuah masalah yang telah diselesaikan di pengadilan, tidak dapat diangkat atau dipersoalkan kembali. Putusan pengadilan tentang sebuah masalah merupakan akhir dari masalah. Akan tetapi, sepertinya tidak semua pihak bisa menerima dengan lapang dada asas dasar tersebut.
Sebastian Pompee menyatakan bahwa sejarah Mahkamah Agung (Dunia Peradilan) pada dasarnya adalah sejarah pertarungan politik untuk mempertahankan, bahkan meraih kembali, otonomi pengadilan dari campur tangan politik, demi sebuah proses peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Setelah Indonesia merdeka, secara resmi lembaga peradilan tidak lagi independen. Di Indonesia, peradilan dihancurkan bukan oleh kelalaian yang sekonyong-konyong muncul, melainkan oleh suatu proses yang disengaja, termasuk oleh peradilan sendiri.
Sampai saat ini, para Hakim tidak pernah benar-benar merdeka dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya. Sebelum tahun 2004, penyelenggaran kekuasaan kehakiman dipecah-pecah dalam berbagai departemen, untuk mempermudah kontrol dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman; Secara teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung, namun secara teknis administrasi berada di bawah wewenang mutlak departemen. Ini seperti melepas kepala, tapi memegang erat ekor supaya tidak bisa kemana-mana.
Setelah proses satu atap 4 badan peradilan dibawah Mahkamah Agung pada tahun 2004, indepensi tidak serta merta diraih. Eksekutif dan Legislatif masih memegang ekor kekuasaan kehakiman, lewat hak anggaran yang dikuasai mutlak oleh eksekutif, dengan persetujuan legislatif.
Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman juga tampak jelas dari cerita yang terserak dari penjuru negeri, sebuah kisah miris tentang banyaknya Hakim yang dipanggil oleh pihak yang berwajib untuk menjelaskan putusan yang telah diputus tentang sebuah perkara.
Dalam International Commission of Jurists (Bangkok, 1965), dinyatakan bahwa Independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law. Jika Independensi Kekuasaan sudah tidak terpenuhi, maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Di sisi lain, kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman terikat dengan pertanggunganjawaban dan akuntabilitas (judicial accountability). Pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan adalah hal mutlak agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan.
Kebebasan Hakim, yang merupakan penerapan dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada sendiri superior, tetapi dibatasi oleh akuntabilitas, Integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan (kontrol). Jika kekuasaan kehakiman diatas dikaitkan dengan Hakim, maka independensi itu harus disempurnakan dengan impartialitas dan profesionalisme seorang Hakim.
Asas res judicata memiliki sebuah konsekuensi: Hakim dituntut untuk profesional, adil dan tidak memihak dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara yang diterimanya.
Putusan pengadilan bersifat memaksa dan executable, apapun isi dari putusan, dan itu adalah satu hal, sedangkan unprofessional conduct Hakim yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan dan penjatuhan putusan adalah hal lain.
Kita sekarang berada di sebuah masa di mana penjatuhan sanksi dan pemecatan terhadap seorang Hakim karena unprofessional conduct adalah sebuah hal yang sangat gampang dan mudah untuk dilakukan.
Mekanisme pengawasan insan peradilan oleh Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah membuka kemudahan akses pelaporan penyelewengan seorang Hakim secara lebar dari peradilan tingkat pertama hingga tingkat Mahkamah Agung.
Hakim berbicara lewat putusan. Hakim tidak menjelaskan perkara yang akan, sedang, dan telah ia periksa lewat konferensi pers, pernyataan, atau cara apapun. Pertimbangan Hakim dalam sebuah putusan memuat semua aspek sosial yuridis, disanalah Hakim berbicara. Hal ini menimbulkan sebuah tantangan baru bagi Mahkamah Agung: Transparansi putusan, dari sejak tingkat pertama, banding, kasasi, hingga Peninjuan Kembali.
Putusan-putusan level Kasasi dan Peninjuan akan mudah dicari dalam portal putusan Mahkamah Agung, namun akan berbeda cerita jika mencari putusan-putusan tingkat pertama pengadilan se-Indonesia, sangat memerlukan usaha ekstra dan sedikit keberuntungan untuk menemukan putusan dimaksud. Bagi pengadilan tingkat pertama dan banding, upload putusan menjadi sebuah “kerja 1 menit yang terabaikan”, dan ini menjadi sebuah PR tersendiri bagi Mahkamah Agung.
Publikasi putusan adalah sebuah judicial accountability, sebagai salah satu tanggung jawab dari kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.
Intervensi terhadap independensi kekuasaan Kehakiman mutlak tidak boleh dilakukan. Medio Februari 2011, semua Pengadilan di seluruh pelosok negara Perancis tutup. Hakim-Hakim dan para juri Pengadilan melakukan demo mogok sidang sebagai bentuk penolakan campurtangan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy terhadap wewenang yudikatif: Sarkozy mencap seorang tersangka dianggap bersalah sebelum dimulainya persidangan dalam kasus pembunuhan seorang perempuan.
Di masa awal kemerdekaan Indonesia, beberapa Hakim juga berani berbenturan langsung dengan Soekarno dalam mendukung kepentingan kelembagaan pengadilan. Salah satu konfrontasi langsung semacam itu terjadi pada Januari tahun 1960 ketika Soekarno bertanya kepada para Hakim yang ketika itu berkumpul di Istana Negara: “Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu mendapat perintah langsung dari Presiden?”. Dengan lantang, seorang Hakim Suparni menjawab: “Oh, bukankah kemandirian kehakiman melarang hal semacam itu?”
*Tulisan pernah dimuat di harian Kompas siang, 15 Agustus 2013*
Salah satu asas hukum dasar res judicata pro veritate habetur (Putusan Hakim dianggap benar) menyatakan bahwa sebuah masalah yang telah diselesaikan di pengadilan, tidak dapat diangkat atau dipersoalkan kembali. Putusan pengadilan tentang sebuah masalah merupakan akhir dari masalah. Akan tetapi, sepertinya tidak semua pihak bisa menerima dengan lapang dada asas dasar tersebut.
Sebastian Pompee menyatakan bahwa sejarah Mahkamah Agung (Dunia Peradilan) pada dasarnya adalah sejarah pertarungan politik untuk mempertahankan, bahkan meraih kembali, otonomi pengadilan dari campur tangan politik, demi sebuah proses peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Setelah Indonesia merdeka, secara resmi lembaga peradilan tidak lagi independen. Di Indonesia, peradilan dihancurkan bukan oleh kelalaian yang sekonyong-konyong muncul, melainkan oleh suatu proses yang disengaja, termasuk oleh peradilan sendiri.
Sampai saat ini, para Hakim tidak pernah benar-benar merdeka dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang diembannya. Sebelum tahun 2004, penyelenggaran kekuasaan kehakiman dipecah-pecah dalam berbagai departemen, untuk mempermudah kontrol dan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman; Secara teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung, namun secara teknis administrasi berada di bawah wewenang mutlak departemen. Ini seperti melepas kepala, tapi memegang erat ekor supaya tidak bisa kemana-mana.
Setelah proses satu atap 4 badan peradilan dibawah Mahkamah Agung pada tahun 2004, indepensi tidak serta merta diraih. Eksekutif dan Legislatif masih memegang ekor kekuasaan kehakiman, lewat hak anggaran yang dikuasai mutlak oleh eksekutif, dengan persetujuan legislatif.
Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman juga tampak jelas dari cerita yang terserak dari penjuru negeri, sebuah kisah miris tentang banyaknya Hakim yang dipanggil oleh pihak yang berwajib untuk menjelaskan putusan yang telah diputus tentang sebuah perkara.
Dalam International Commission of Jurists (Bangkok, 1965), dinyatakan bahwa Independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law. Jika Independensi Kekuasaan sudah tidak terpenuhi, maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Di sisi lain, kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman terikat dengan pertanggunganjawaban dan akuntabilitas (judicial accountability). Pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan adalah hal mutlak agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan.
Kebebasan Hakim, yang merupakan penerapan dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada sendiri superior, tetapi dibatasi oleh akuntabilitas, Integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan (kontrol). Jika kekuasaan kehakiman diatas dikaitkan dengan Hakim, maka independensi itu harus disempurnakan dengan impartialitas dan profesionalisme seorang Hakim.
Asas res judicata memiliki sebuah konsekuensi: Hakim dituntut untuk profesional, adil dan tidak memihak dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara yang diterimanya.
Putusan pengadilan bersifat memaksa dan executable, apapun isi dari putusan, dan itu adalah satu hal, sedangkan unprofessional conduct Hakim yang bersangkutan dalam proses pemeriksaan dan penjatuhan putusan adalah hal lain.
Kita sekarang berada di sebuah masa di mana penjatuhan sanksi dan pemecatan terhadap seorang Hakim karena unprofessional conduct adalah sebuah hal yang sangat gampang dan mudah untuk dilakukan.
Mekanisme pengawasan insan peradilan oleh Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung telah membuka kemudahan akses pelaporan penyelewengan seorang Hakim secara lebar dari peradilan tingkat pertama hingga tingkat Mahkamah Agung.
Hakim berbicara lewat putusan. Hakim tidak menjelaskan perkara yang akan, sedang, dan telah ia periksa lewat konferensi pers, pernyataan, atau cara apapun. Pertimbangan Hakim dalam sebuah putusan memuat semua aspek sosial yuridis, disanalah Hakim berbicara. Hal ini menimbulkan sebuah tantangan baru bagi Mahkamah Agung: Transparansi putusan, dari sejak tingkat pertama, banding, kasasi, hingga Peninjuan Kembali.
Putusan-putusan level Kasasi dan Peninjuan akan mudah dicari dalam portal putusan Mahkamah Agung, namun akan berbeda cerita jika mencari putusan-putusan tingkat pertama pengadilan se-Indonesia, sangat memerlukan usaha ekstra dan sedikit keberuntungan untuk menemukan putusan dimaksud. Bagi pengadilan tingkat pertama dan banding, upload putusan menjadi sebuah “kerja 1 menit yang terabaikan”, dan ini menjadi sebuah PR tersendiri bagi Mahkamah Agung.
Publikasi putusan adalah sebuah judicial accountability, sebagai salah satu tanggung jawab dari kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.
Intervensi terhadap independensi kekuasaan Kehakiman mutlak tidak boleh dilakukan. Medio Februari 2011, semua Pengadilan di seluruh pelosok negara Perancis tutup. Hakim-Hakim dan para juri Pengadilan melakukan demo mogok sidang sebagai bentuk penolakan campurtangan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy terhadap wewenang yudikatif: Sarkozy mencap seorang tersangka dianggap bersalah sebelum dimulainya persidangan dalam kasus pembunuhan seorang perempuan.
Di masa awal kemerdekaan Indonesia, beberapa Hakim juga berani berbenturan langsung dengan Soekarno dalam mendukung kepentingan kelembagaan pengadilan. Salah satu konfrontasi langsung semacam itu terjadi pada Januari tahun 1960 ketika Soekarno bertanya kepada para Hakim yang ketika itu berkumpul di Istana Negara: “Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu mendapat perintah langsung dari Presiden?”. Dengan lantang, seorang Hakim Suparni menjawab: “Oh, bukankah kemandirian kehakiman melarang hal semacam itu?”
*Tulisan pernah dimuat di harian Kompas siang, 15 Agustus 2013*