Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini dibahas di DPR memuat
banyak hal dan peraturan-peraturan baru dalam bidang hukum, demi mengikuti
perkembangan zaman dan inflasi (dari segi denda).
Di
antara sekian banyak terobosan dan hal baru yang termuat dalam RKUHP, ada satu
pasal yang saat ini sedang menjadi perdebatan dan pembicaraan hangat, yaitu
pasal 293 RKUHP.
Pasal
293 RKUHP ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan
gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada
orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian,
penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal
ini sekarang tenar dengan sebutan “pasal santet”, karena dianggap menyasar
praktik ilmu gaib yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
mencelakakan orang lain.
Selama
ini, perdebatan dan pembahasan hanya berkutat pada masalah santet ansich, dari
berbagai aspek: pembuktian santet, irasional-nya santet, dst. Saya sendiri
melihat, bahwa ‘pasal santet’ ini tidaklah menyasar kelakuan santet-nya, akan
tetapi lebih kepada dukun santetnya. Tujuan utama dari pasal ini bukanlah
obyeknya, akan tetapi subyeknya.
Santet
itu absurd, irasional, tidak logis, dan tidak mungkin dibuktikan. Akan tetapi
pelaku (dukun) santet, sepanjang orang tersebut menyatakan bahwa dirinya
mempunyai kekuatan gaib, menawarkan, dan/atau memberikan bantuan jasa terhadap
orang lain, adalah sesuatu yang nyata dan konkret.
Chairul Huda, salah seorang Tim Perumus RKUHP, jauh-jauh hari telah menyatakan
bahwa telah terjadi kekeliruan pemahaman masyarakat terkait substansi
pasal santet. Perdebatan yang ada lebih mengarah ke soal pembuktian, padahal
santet tidak perlu (dan tidak bisa) dibuktikan karena sulit diterima secara
logis. Justru yang harus dibuktikan adalah penyebarluasan kemampuan santet yang
dimiliki seseorang, baik bertujuan mencari keuntungan maupun tidak. Ranah hukum
bukanlah tempat untuk membuktikan ada atau tidaknya santet.
Substansi
Pasal 293 RKUHP adalah pasal penipuan menggunakan klaim santet. Perbedaan
antara Pasal 293 RKUHP dengan delik penipuan biasa terletak pada jika penipuan
biasa ada korban, sedangkan Pasal 293 ini tidak mengharuskan adanya korban.
Santet
itu irasional, tidak logis, dan tidak nyata. Dengan berpijak kepada fakta
tersebut, maka apabila ada seseorang yang mengklaim bahwa dia memiliki
kemampuan untuk melakukan santet, apalagi menyebarkan klaim tersebut, terlepas
dari fakta bahwa orang tersebut mampu atau tidak mampu melakukan santet, akan
kena delik pasal ini.
Pasal
293 RKUHP ayat (1) menyasar bagi pelaku delik yang melakukan tindakannya secara
sporadis dan tidak berkelanjutan, sedangkan ayat (2) melingkupi segala tindakan
dilakukan dengan kontinuitas dan bertujuan mencari keuntungan (mata
pencaharian).
Santet
memang irasional, tetapi di kalangan masyarakat Indonesia ‘dunia santet’ sudah
sangat akrab sejak dulu. Bahkan, hingga era digital yang sudah sangat pesat ini
pun, kasus-kasus santet masih sangat banyak bergulir di masyarakat.
Sejumlah
media pun, masih meletakkan berita kasus santet ini dengan porsi yang cukup
besar. Seperti pemberitaan warga yang diduga dukun santet, dihakimi massa,
diambil sumpah pocong bahkan sampai ada yang dibakar.
Itu menunjukkan, kasus santet masih menjadi persoalan di tengah masyarakat,
tidak hanya kalangan pedesaan juga di perkotaan.
Dan,
karena belum ada payung hukum ayng mengatur kasus itu, maka biasanya massa yang
mengambil alihnya seperti melalui aksi sumpah pocong atau pengoroyokan tadi.
Adalah rancangan hukum yang sedang dibahas kalangan dewan itu juga merupakan
bentuk aspirasi dari apa yang terjadi di masyarakat.
Juga,
masih jamak kita temukan iklan-iklan tentang klaim praktik ilmu gaib yang
bertujuan mencelakakan orang lain dilakukan secara terang-terangan di media
cetak maupun elektronik, juga lewat pamflet dan selebaran di pinggir jalan.
Sama sekali tidak ada jaminan isi dari iklan tersebut adalah fakta dan riil.
Dengan
asumsi bahwa santet itu tidak ada-lah Pasal 293 RKUHP dibuat, sehingga apabila
ada orang yang mengklaim bahwa mereka mampu melakukan santet, secara otomatis
dianggap sebagai penipuan.
Pembuktian
tindak pindana penipuan klaim santet ini tidaklah sulit, Jimly Asshiddiqie
memberikan gambaran bahwa hanya dengan mengamati apakah ‘sang dukun’ terbukti
menawarkan diri dan memberikan tarif kepada si klien, maka dukun tersebut dapat
dikenai pasal penipuan memakai santet.
Dengan
gambaran di atas, sangat tidak tepat jika Pasal 293 RKUHP ini diberi label
“pasal santet”, akan tetapi lebih tepat jika diberi label “pasal penipuan
santet”.
Sampai
saat ini, sangat banyak masyarakat yang tertipu oleh klaim-klaim tidak benar dari
orang-orang yang mengaku bahwa meraka adalah dukun santet/orang pintar, dan
masyarakat tidak mampu melakukan upaya hukum apapun terhadap penipuan yang
mereka alami. Pasal ini berusaha untuk menghilangkan kejadian penipuan yang
bermodus praktik ilmu gaib.
Alih-alih
membahas hal yang gaib, saya berpendapat bahwa Pasal 293 RKUHP ini adalah
bentuk rasionalitas perumus RKUHP dalam menyikapi perkembangan zaman yang
semakin canggih dan modern di mana teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang
dengan sangat pesat.
Rasionalitas
itu berbentuk pemidanaan yang nantinya akan berujung kepada penghapusan segala
macam praktek Ilmu Ghaib, juga klaim-klaim sesat irasional lain.
Hanya
manusia yang rasional dan logis yang mampu bertahan dan bersaing. Jika untuk
berfikir rasional dan logis itu pun perlu perlu dipaksa, maka Pasal 293 RKUHP
ini adalah jawabannya.