Sejarah Mahkamah Agung, di mata Pompe, adalah sejarah
pertarungan politik untuk mempertahankan, bahkan meraih kembali, otonomi
pengadilan dari campur tangan politik. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung
merupakan versi bahasa Indonesia dari buku The Indonesian Supreme Court, A
Study of Institutional Collaps, yang terbit pertama kali pada 2005.
Buku setebal 698 halaman itu adalah disertasi
Sebastian Pompe yang dipresentasikan pada 1996 di Unversitas Leiden, Belanda,
atas evolusi lembaga peradilan Indonesia selama setengah abad. Wartawan Gatra
Rita Triana Budiarti menukilkan buku yang diterbitkan Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) itu.
Sebuah insiden yang tak terlupakan terjadi dalam
jamuan resmi kenegaraan pada 1951. Ketika itu, ketua pertama Mahkamah Agung,
Kusumah Atmadja, marah-marah. Gara-garanya, ia tidak diberi tempat duduk sesuai
dengan posisinya. Ia mengancam akan meninggalkan jamuan bila tidak diberi
tempat yang sesuai dengan martabatnya, yakni di sebelah presiden.
Insiden itu memperlihatkan bagaimana seorang Ketua
Mahkamah Agung harus berjuang agar jabatannya dihormati. Pada masa awal
kemerdekaan itu, para pemimpin politik tidak menerima begitu saja kedudukan dan
peran Mahkamah Agung. Akibatnya, para hakim terus-menerus menghadapi sikap
diremehkan.
Kisah itu diperoleh Sebastian Pompe dari arsip pribadi
Prof. Daniel S. Lev. Dokumen pribadi dan rekaman-rekaman wawancara Lev sejak
1950-an tersebut menjadi sebagian sumber kajian Pompe, selain bahan di
perpustakaan hukum Indonesia di Institut Van Vollenhoven Fakultas Hukum Leiden
sebagai rujukan utama. Sumber yang tak kalah penting adalah wawancara Pompe
dengan sejumlah hakim agung dan hakim tinggi. Bagi Pompe, kelompok sumber
ketiga ini adalah para ahli hukum yang hebat, pekerja keras, tapi dikecewakan
oleh kondisi privasi mereka.
Dalam pengantar buku versi Inggris, Bagir Manan, yang
ketika itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, secara bergurau menyebut
Pompe sebagai orang Indonesia yang kebetulan lahir di Belanda. Ia juga menulis,
karena dalam kajian itu Pompe menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis,
konsekuensinya temuan-temuan akan berwujud kenyataan-kenyataan, baik yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Sekalipun demikian, sebagai kerja
keilmuan, menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,
itu, semestinya itu semua diterima dengan ukuran keilmuan pula.
Melihat dari akar sejarahnya, kedudukan dan peran
peradilan di Indonesia ditentukan dan dibatasi oleh sejumlah parameter warisan
sistem peradilan kolonial. Parameter itu, antara lain, sistem konstitusional
yang dicangkokkan dari Eropa menghendaki pemisahan kekuasaan (trias politica).
Akibatnya, pengadilan tidak memiliki hak untuk menguji undang-undang (contitutional
review) sehingga tidak terjadi checks and balances (perimbangan kekuasaan).
Parameter kedua, negara kolonial cenderung mengizinkan
eksekutif mempertahankan banyak hak prerogatif di luar kontrol yuidisial.
Ketiga, rekrutmen kehakiman yang tertutup dalam sistem civil law yang
mengakibatkan pengadilan cenderung bersimpati pada negara ketimbang rakyat.
Keempat, Mahkamah Agung kolonial (Hooggerechtshof)
beroperasi dalam lingkungan yang menguntungkan eksekutif daripada yudikatif
karena alasan-alasan terkait doktrin konstitusional, kepentingan kolonial, dan
cara pandang yudisial. Celakanya, peradilan Indonesia berada dalam posisi ini
selama lebih dari lima dekade.
Republikan di Tengah Intervensi Politik
Sejarah Mahkamah Agung pada dasarnya adalah sejarah
pertarungan politik untuk mempertahankan, bahkan meraih kembali, otonomi
pengadilan dari campur tangan politik. Selama 20 tahun Indonesia merdeka
(1945-1965), secara resmi lembaga peradilan tidak lagi terpisah dan independen.
Di Indonesia, peradilan dihancurkan bukan oleh kelalaian yang sekonyong-konyong
muncul, melainkan oleh suatu proses yang disengaja, termasuk oleh peradilan
sendiri.
Masa ini terdiri dari tiga fase. Pertama adalah
periode revolusi (1935-1949), ketika hubungan antara pengadilan dan
kepemimpinan politik nasional diwarnai ketegangan historis. Hubungan keduanya
sebagaimana dikotomi yang ditulis antropolog Benedict Anderson tentang hubungan
antara pimpinan politik Indonesia dan elite tradisional Jawa yang dikooptasi
administrasi kolonial, pangreh pradja.
Pada saat itu, hakim Indonesia adalah minoritas dalam
yurisdiksi laanraad (pengadilan negeri) yang mengadili perkara-perkara politik
bangsa Indonesia di tingkat pertama. Pada 1942, dari 64 hakim, hanya 23 hakim
yang lulusan universitas. Selebihnya adalah lulusan rechtsshool (sekolah
hukum). Dari 23 hakim senior itu, hampir semua berasal dari elite tradisional
Jawa. Hanya Oerip Kartodirdjo dan Zainal Abidin yang tidak menyandang gelar
raden atau raden mas.
Pada masa kolonial, para hakim bertindak sebagai
pelayan kolonial. Merekalah yang berhadapan langsung dengan gerakan
kemerdekaan. Para hakim itu tidak ada yang mundur ketika gubernur jenderal
mulai menggunakan exorbitante rechten yang kontroversial pada 1930-an hingga
awal 1940. Dengan hak prerogatif eksekutif luar biasa itu, para pemimpin
politik Indonesia ditangkapi dan dibuang tanpa pengadilan. Bahkan hakim sekelas
Kusumah Atmadja, yang kemudian menjadi Ketua Mahakamah Agung, pernah
menjebloskan kaum revolusioner karena mendukung Soekarno yang kelak menjadi
presiden.
Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan kolonial
Belanda, kesenjangan politik kedua kubu itu dijembatani. Pada periode ini,
pijakan politik sejumlah hakim, seperti Kusumah Atmadja, mulai bergeser.
Namanya mendadak nasionalis seperti Soekarno dan Hatta. Ia bahkan terlibat
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang disokong Jepang.
Faktanya, selama perjuangan revolusioner, hukum hanya
menempati posisi marjinal. Sekalipun Ketua Mahkamah Agung pertama kali diangkat
pada saat proklamasi, hakim-hakimnya baru diangkat setahun kemudian. Ketika
itu, hukum dan lembaga-lembaganya memperkuat klaim-klaim Republik Indonesia
muda atas legitimasi dan kemerdekaan, sehingga gerakan revolusioner berubah
menjadi sebuah republik.
Hal itu ditandai dengan ditunjuknya elite pengadilan
Indonesia yang pernah bekerja untuk pemerintah kolonial pada jabatan-jabatan
tinggi di pengadilan dalam republik baru. Mereka juga dilibatkan dalam bermacam-macam
panitia untuk urusan hukum dan politik.
Di sisi lain, Belanda sangat berminat mempekerjakan
kembali hakim-hakim Indonesia, terutama karena simbolisme politik yang
ditimbulkannya. Citra publik lebih bagus dijaga dengan membentuk sebuah sistem peradilan
yang berfungsi ketimbang hilir mudik tentara. Tawaran Belanda menggoyahkan
"iman" para hakim karena peruntungan politik yang memudar dan blokade
ekonomi yang dilakukan Belanda. Betapa tidak, blokade ekonomi itu membuat Ketua
Mahkamah Agung sekelas Kusumah Atmadja saja hanya bisa bertahan dengan menjual
harta benda miliknya.
Pada saat yang sama, kaum republikan mulai mencurigai
kesetiaan politik para hakim. Kecurigaan ini diwujudkan dalam campur tangan
penguasa republik, terutama para tentara muda, dalam urusan pengadilan. Para
hakim sering dipaksa membebaskan terdakwa atas dasar politik. Bahkan, dalam
bahasa Hakim Oerip Kartodirdjo, seluruh sistem peradilan Indonesia diteror.
Puncaknya terjadi ketika Mahkamah Agung memutus kasus
percobaan kudeta pada 1946, yang dikenal dengan perkara Soedarsono. Pada saat
itu, dengan dukungan pemula politik seperti M. Yamin, Perdana Menteri Sjahrir
diculik oknum tentara yang kecewa. Sekalipun percobaan itu gagal, para pemuka
yang terlibat diadili. Karena sebagian terdakwa dekat dengan Presiden Soekarno,
ada dugaan Soekarno menekan Mahkamah Agung agar bersikap lunak.
Namun, Ketua Mahkamah Agung, Kusumah Atmadja,
menentang tekanan itu dan mengancam akan mundur bila Soekarno berkeras. Untuk
menunjukkan sikapnya, dalam pertimbangan hukum tiga putusannya, Kusumah Atmadja
menekankan bahwa Mahamah Agung adalah lembaga mandiri yang harus tetap bebas
dari campur tangan politis.
Intervensi dan memburuknya perekonomian akibat blokade
Belanda pada 1946 akhirnya membuat sebagian besar hakim berpaling dari
republik. Hingga pada 1949, dari 23 hakim senior, hanya sembilan hakim yang
tidak membelot. Mereka berkumpul di sekitar Kusumah Atmadja di Mahkamah Agung
dan menjadi inti perlawanan dalam tubuh peradilan terhadap tekanan Belanda.
Namun mereka dikecewakan oleh kecurigaan para pemuda.
Para pemuda itu datang menginterogasi setiap kali ada orang Belanda mendatangi
mereka. Sekalipun terus-menerus dirayu dan tergoda untuk menyeberang, kelompok
ini bertahan hingga akhir. Sampai-sampai, sebuah laporan yang diterbitkan
Pemerintah Belanda menyebut solidaritas mereka luar biasa. De Regt menulis,
"Tidak ada yang membuat keputusan tanpa bertanya lebih dahulu kepada
Kusumah Atmadja. Semua orang mengatakan bahwa ia adalah republikan yang
baik...."
Gaji Sebagai Isu Pemersatu
Fase kedua, masa Demokrasi Perlementer (1950-1949)
digolongkan sebagai periode mobilisasi politik pengadilan. Bagi pengadilan,
simbolisasi politis status dan penghormatan merupakan fondasi legitimasinya.
Berbeda dari pemerintah atau parlemen, pengadilan tidak memiliki instrumen riil
untuk merasakan kekuasaannya selain penghormatan yang diberikan. Namun, selama
Demokrasi Parlementer, insiden yang mempermalukan peradilan terus menanjak.
Insiden paling menghebohkan terjadi pada 1951, ketika
Ketua Mahkamah Agung, Kusumah Atmadja, murka karena tidak diberi tempat duduk
martabat jabatannya. Namun sikap tak mau diremehkan ini tidak dipertahankan
oleh penggantinya, Wirjono Prodjodikoro. Ia terus beringsut menjauhi garis hierarkis
dalam jamuan kenegaraan hingga meninggalkan ujung meja sama sekali, bahkan
akhirnya tidak diundang lagi.
Suatu saat, ketika mengikuti kunjungan Presiden
Soekarno ke Amerika Serikat, posisi duduknya sejajar dengan senator dan anggota
Kongres. Padahal, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, duduk
bersama Soekarno dan Presiden Eisenhower.
Pelecehan terhadap peradilan terus berlanjut ketika
Mahkamah Agung memanggil Menteri Roeslan Abdul Gani dalam sidang pemeriksaan.
Namun presiden sengaja mengundang Roeslan untuk sarapan pagi pada saat yang
sama.
Pada masa itu, pemerintah juga mengusulkan pengurangan
gaji hakim. Isu ini segera menjadi faktor pemersatu untuk memobilisasi
pengadilan secara politis. Kesulitan nyata yang dihadapi para hakim ketika itu
tergambar pada "bisnis" Ketua Mahkamah Agung. Ia menyewakan mobil
dinasnya sebagai taksi selama jam kerja agar bisa bertahan hidup. Untuk
memperjuangkan kesetaraan, mereka membentuk Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) pada
Mei 1953.
Seiring dengan pengikisan lembaga, pada 1955 para
hakim kehilangan posisi gaji istimewa mereka dibandingkan dengan para jaksa.
Sejak 1968, hakim muda digolongkan sebagai pegawai negeri biasa. Status pegawai
negeri sipil mereka kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang (UU) Pengawai
Negeri Nomor 8 Tahun 1974. UU Pokok Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 memang
mengamanatkan bahwa gaji hakim akan diatur dalam peraturan tersendiri.
Ironisnya, amanat itu baru terealisasi seperempat abad kemudian.
Kegagalan dalam perdebatan soal gaji pada 1956
menyebabkan para hakim mulai memikirkan kedudukan dan peran konstitusional
mereka. Dua isu mengemuka dalam perjuangan meraih status ini. Yakni otonomi
dari campur tangan politik dan peningkatan kekuasaan dengan memberikan kewenangan
pengujian undang-undang pada Mahkamah Agung.
Matinya Dewi Keadilan
Perdebatan soal status, otonomi, dan kekuasaan
pengadilan kemudian menjadi kehilangan makna ketika rezim Demokrasi Terpimpin
(1953-1965) diarahkan untuk menghapus doktrin pemisahan kekuasaan. Setelah
diberlakukan Undang-Undang Keadaan Bahaya pada 1957, simbol keadilan
tradisional --dewi keadilan bertutup mata membawa pedang dan neraca-- diganti
dengan simbol nasional berupa pohon beringin, disertai semboyan
"Pengayoman".
Pada tahun itu, Ketua Mahkamah Agung, Wirjono
Prodjodikoro, disertakan dalam kabinet dengan status menteri. Berakhirnya
doktrin pemisahan kekuasaan itu disampaikan Presiden Soekarno di depan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Proses itu dikukuhkan dengan dua
undang-undang (Nomor 19/1964 dan Nomor 13/1965) yang memungkinkan campur tangan
pemerintah dalam sistem peradilan.
Secara eksplisit, independensi peradilan berakhir.
Hakim hanya menjadi alat revolusi semata. Militer berusaha meluaskan kekuasaan
ke ranah pengadilan. Administrasi pengadilan yang dilakukan Departemen
Kehakiman ditempatkan di bawah pengawasan mutlak Departemen Kehakiman. Sejak
1957, tentara mengusulkan agar semua wakil ketua pengadilan dijabat perwira
militer. Akibatnya, pengadilan tidak bisa memproses dengan adil perkara-perkara
yang melibatkan bisnis militer.
Toga hitam hakim yang menjadi pakaian resmi khas hakim
diganti dengan seragam model militer yang digunakan semua pegawai negeri ketika
itu. Dalam pidatonya, Seokarno menyebut pakaian baru itu sebagai seragam
revolusi.
Perlawanan bukan tak ada. Para hakim mendapat suntikan
moral ketika hakim yang membebaskan Schmidt, warga Belanda yang dituding
mencoba menggulingkan Pemerintah Indonesia, tidak mengalami insiden apa pun
setelah menjatuhkan vonis. Pasca-putusan itu, Perdana Menteri Juanda berpidato
bahwa pemerintah akan menggunakan kekuatan untuk memastikan loyalitas politik
pengadilan. Di balik layar, pemerintah menyiapkan manuver bagi para hakim yang
membebaskan Schmidt. Untunglah, misi itu dipimpin Soerjadi, bekas hakim yang
mengatur penyelidikan itu menjadi misi pencarian fakta.
Sebagian hakim berani berkonfrontasi langsung dengan
Soekarno. Misalnya ketika mereka diundang bersama polisi dan jaksa untuk
membahas kondisi ekonomi pada Januari 1960. Ketika itu, Soekarno berpidato
tentang hukum revolusi dan hukuman berat bagi penyabot ekonomi. Setelah makan
siang, ia meminta hakim-hakim muda yang hadir menjawab pertanyaan tentang
hukuman apa yang akan mereka jatuhkan. Sebagian hakim menjawab akan menjatuhkan
hukuman empat sampai tujuh tahun penjara. Namun Hakim Suparni dari Pengadilan
Khusus Ibu Kota Jakarta memberi jawaban yang tidak diharapkan.
Suparni menganggap presiden telah melampaui batas
dengan menanyakan kepada hakim soal seberat apa hukuman yang akan mereka
jatuhkan. Ia juga menekankan otonomi dan kemandirian hakim. Esoknya, Suparni
dipanggil menghadap Menteri Kehakiman, Astrawinata. Karena menduga akan terjadi
sesuatu, Suparni mangkir. Ia aman- aman saja ketika itu.
Belakangan, Astrawinata mengatakan, sekiranya Suparni
datang, "Dia bisa sakit."
Secara organisasi, Ikahi melakukan perlawanan di bawah
tanah. Pada 1956, Ikahi memamerkan kekuatan politiknya ketika melakukan
pemogokan hakim yang spektakuler. Rencana aksi itu diketahui bahkan dihadiri
Ketua Mahkamah Agung, Wirdjono. Namun ia gagal menghalangi aksi itu.
Untuk memobilisasi pengadilan, pemerintah tiba-tiba
menyelenggarakan kongres Ikahi pada 1964. Kongres ini memilih Asikin Kusumah
Atmadja, putra ketua pertama Mahkamah Agung yang independen. Walaupun Ikahi
memperlihatkan kesetiaan pada revolusi, tekadnya untuk menjunjung tinggi
gagasan lama mereka masih sangat membara.
Pertarungan Kekuasaan
Pertarungan kekuasaan terjadi pada masa Orde Baru
(Orba) yang mengakhiri masa Demokrasi Terpimpin. Pada dua tahun pertama
kekuasaan ini, pemerintahan Orba menempatkan legalitas di pusat agenda
politiknya. Ketika itu, Ikahi menetapkan tiga capaian utama pengadilan, yakni
peningkatan status dengan sistem penggajian tersendiri, otonomi peradilan
melalui pengalihan administrasi pengadilan dari Departemen Kehakiman ke
Mahkamah Agung, dan penguatan kekuasaan kehakiman dengan melembagakan hak
pengujian undang-undang (constituitonal review).
Namun, setelah 1967, kedudukan dan pengaruh politik
pengadilan terkikis cepat akibat campur tangan pemerintah lewat dinas rahasia
Operasi Khusus (Opsus). Intervensi ini menyebabkan terjadinya ketegangan
internal yang serius dan hilangnya ketegasan dalam kepemimpinan pengadilan.
Kalangan peradilan menyetujui pembentukan Direktorat Jenderal Pembinaan Badan
Peradilan Departemen Kehakiman. Kenyataannya, direktorat ini menjadi
kepanjangan tangan pemerintah untuk mempengaruhi peradilan. Departemen
Kehakiman memegang semua kartu politis, berikut "kunci brankas".
Peletak dasar pengaruh eksekutif atas peradilan adalah
Menteri Kehakiman, Oemar Seno Adji. Ketetapannya untuk mengelola personel
yudisial tanpa melibatkan Mahkamah Agung mempercepat kemerosotan standar
profesional di tubuh peradilan. Sebab Departemen Kehakiman tidak mampu menilai
kinerja profesional para hakim. Selain karena departemen itu juga tidak mau
melakukan penilaian semacam itu.
Ketidakbecusan manajemen peradilan tergambar ketika
terjadi rekrutmen besar-besaran pada 1971-1973. Ketika itu, pengadilan
kekurangan 1.000 hakim. Pada 1971, sebanyak 500 hakim sudah diterima dengan
masa percobaan dan gaji minimum. Namun, hingga 1973, mereka tak kunjung
diangkat oleh presiden. Sebanyak 200 orang mundur tanpa kabar.
Departemen Kehakiman menyatakan, insiden itu terjadi
karena Mahkamah Agung tidak mengirim permintaan pengangkatan. Mahkamah Agung
membantah. Lalu Departemen Kehakiman menyatakan telah mengirim permintaan ke
Sekretariat Negara. Ketika Sekretariat Negara membantah, Departemen Kehakiman
mengakui bahwa mereka belum memproses berkas itu. Para calon hakim yang tersisa
mengamuk dan merusak aula direktorat jenderal.
Seno Adji tersandung ulahnya sendiri ketika
dipindahkan menjadi Ketua Mahkamah Agung. Ia terlibat konflik terbuka dengan
penggantinya, Mochtar Kusuma Atmadja. Mochtar, yang membenci kesemrawutan yang
dibikin Seno, melanjutkan intervensi dalam manajemen personalia untuk
mengucilkan Seno sebagai hakim agung. Tampaknya, ia sengaja melakukan itu untuk
merobohkan sistem patronase yang dibangun Seno. Masalah ini akhirnya sampai
kepada Presiden Soeharto. Kepada presiden, Mochtar menjelaskan bahwa ia hanya
melanjutkan kebijakan Seno Adji.
Tak lama setelah Seno pensiun pada 1981, hampir semua
pengadilan di kota dibersihkan. Pemerintah melancarkan Opstib untuk membongkar
jaringan korupsi peradilan yang luas. Ketika itulah muncul istilah "mafia
peradilan". Pada saat itu, semua hakim senior di Jakarta dihukum karena
terlibat korupsi.
Pada awal masa jabatan Mudjono sebagai Menteri
Kehakiman, ia menghukum 30 hakim karena mengomersialkan jabatan. Ia juga
memutasi banyak hakim dari pusat ke daerah terpencil tanpa pertimbangan Ketua
Mahkamah Agung.
Purwoto S. Gandasubrata kemudian menjadi Ketua
Mahkamah Agung karier pertama setelah dua dasawarsa ketua diangkat dari luar.
Ia melakukan upaya pembenahan sambil kembali menghidupkan tiga butir agenda
politik peradikan, yakni administrasi yang otonom, hak uji konstitusional, dan
gaji. Namun ia mesti berhadapan dengan kungkungan politis, di mana peradilan
bergerak. Kelemahan kapasitas internal peradilan, standar profesional, dan
komitmen memperparah upaya pencapaian tujuan tadi. Belum lagi jumlah perkara
panas yang kian meningkat.
Dua Ketua Mahkamah Agung yang kontroversial semasa
rezim Orba adalah Soerjono (1995-1996) dan Sarwata (1996-2001). Keduanya
dinilai tidak berkompeten sebagai pemimpin lembaga supremasi hukum tertinggi.
Ketidakcakapan Soerjono segera tersingkap ketika muncul perkara Ohee di Irian
Jaya. Pada saat itu, kasus Ohee dimenangkan di tingkat peninjauan kembali.
Perwakilan masyarakat adat itu ditetapkan memperoleh ganti rugi Rp 18,6 milyar
dari pemerintah daerah. Jumlah ganti rugi itu melebihi APBD provinsi.
Kasus itu menjadi perhatian nasional ketika Ohee kesulitan
melakukan eksekusi. Soerjono kemudian menyelesaikan masalah ini dengan
mengeluarkan surat seadanya. Pertimbangan hukumnya sangat lemah. Putusan itu,
menurut dia, tidak bisa dieksekusi karena gugatannya ditujukan kepada Gubernur
Irian Jaya yang bukan subjek hukum. Padahal, menurut undang-undang, gubernur
mewakili provinsinya.
Di tengah tuntutan mundur, Soerjono telibat konflik
dengan Ketua Muda Adi Andojo. Ketika itu, Adi Andojo menulis memo rahasia soal
dugaan penyuapan dalam perkara Gandhi Memorial School. Celakanya, memo itu
bocor ke pers. Soerjono menuding Adi merusak sarangnya sendiri. Ia memohon
kepada presiden agar Adi dipecat dengan tidak hormat.
Pada masa ini, korupsi merajalalela. Mantan Hakim
Agung, Asikin Kusumah Atmadja, mensinyalir bahwa 50% hakim korup. Bahkan
seorang hakim yang tidak disebut namanya menyebutkan, "Jika dahulu orang
harus mencari seorang hakim yang korup dengan lentera, sekarang ia harus
menggunakan lentera itu untuk mencari hakim yang jujur."
Sarwata, pengganti Soerjono, adalah birokrat militer.
Ia digambarkan sebagai hakim yang kontroversial, bahkan sebelum melakukan apa
pun. Di bawah kepemimpinannya, rumor tentang tuduhan korupsi mengalami lompatan
besar karena disampaikan secara terbuka lewat pers. Ia Ketua Mahkamah Agung
pertama yang diberitakan media terlibat korupsi.
Bahkan, dalam sebuah rapat pleno, secara terbuka ia
mengaku membuat peraturan tidak tertulis soal tambahan pungutan biaya perkara
Rp 15.000. Pungutan yang berlaku di seluruh Indonesia ini menghasilkan milyaran
rupiah ke kas Mahkamah Agung. Sarwata berdalih, pungutan itu untuk
kesejahteraan umum para hakim. Ketika itu, timbul kegemparan karena pungutan
itu dianggap tidak sah lantaran merugikan pencari keadilan.
Pada saat itu, muncul istilah kolusi dan korupsi.
Kolusi merujuk pada kerja sama hakim agung dengan orang luar. Menurut Adi
Andojo, praktek ini paling mudah dibuktikan karena hanya perlu menunjukkan
bahwa prosedur reguler penanganan perkara dilanggar tanpa alasan. Paktek kolusi
dan korupsi ini kian melemahkan wibawa Mahkamah Agung dan mengaburkan kekuatan
hukum putusan-putusan Mahkamah Agung.
Mistisisme di Mahkamah Agung
Ketika metode rasional gagal atau tidak mencukupi,
para hakim juga berpaling pada mistisisme. Seorang paranormal kondang
mengatakan bahwa ia adalah orang kepercayaan lima hakim agung. Namun ia bukan
satu-satunya orang kepercayaan. Para hakim yang menganut kepercayaan terhadap
mistis memiliki kesamaan karakteristik. Sebagian besar dari mereka khususnya
berasal dari kelompok elite Jawa yang berakar pada kebudayaan Hindu. Sedangkan
para hakim muslim yang taat cenderung tidak mudah terpengaruh oleh mistisisme
karena menilai dua keyakinan itu saling menegasikan.
Sekalipun demikian, hakim agung yang bukan orang Jawa
dan bukan muslim mengaku terlalu kuat untuk diserang secara mistis. "Saya
dibesarkan di lingkungan penuh mistik," katanya. Ketika ia dilahirkan,
bibirnya dipulas merah menggunakan darah ibunya agar bibirnya tetap merah.
Setiap pagi, kepalanya ditetakan-tekan agar memanjang dan bagus. Telinganya
dipijit untuk melenyapkan kerut-kerut kecil yang jelek. Kemudian, sebagaimana
tradisi Jawa, ibunya menaruh sesaji di empat sudut ruang untuk mengusir roh
jahat.
Dari penuturan hakim agung terungkap bahwa pada 1965,
ketua muda mulai mempraktekkan upacara jaelangkung di Mahkamah Agung. Sang
ketua muda menggunakan semacam piramida logam di atas meja dengan sebatang
pensil yang menggantung pada seutas tali dari pusat piramida. Seseorang lalu
mulai kesurupan. Orang itu mulai menggambar bulatan-bulatan dan tulisan
melingkar-lingkar. Tulisan itu langsung dirubung oleh mereka yang berusaha
mencari tahu maksudnya.
Setelah melakukan wawancara tambahan, Pompe yakin,
ketua muda itu berpaling pada mistisisme karena anaknya menderita sakit parah
hingga meninggal dunia di usia muda. Kenyataan itu membuat sang hakim putus asa
dan menjadikan mistisisme sebagai jalan keluar.
Namun ternyata, di Mahkamah Agung, garis antara urusan
pribadi dan profesional sangat rapuh. Ketika lembaga ini dipimpin Mudjono, ia
melibatkan "aritmetika mistis" dalam proses reorganisasi Mahkamah
Agung. Angka-angka itu digunakan untuk menentukan jumlah tepat hakim-hakim baru
dan pembagian mereka ke dalam berbagai tim dan bidang. Hakim-hakim baru itu
menghasilkan 17 bidang. Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, angka yang
bertepatan dengan tanggal proklamasi kemerdekaan itu dianggap sebagai angka
keramat.
Selanjutnya, bidang-bidang tadi dikelompokkan lagi
menjadi delapan tim. Angka delapan sesuai dengan urutan angka bulan
kemerdekaan, yakni Agustus. Jumlah hakim agung, di luar ketua, adalah 45. Angka
45 ini juga, jika dijumlahkan --4 dan 5-- menghasilkan angka 9. Sedangkan 9
adalah jumlah huruf dalam kata Indonesia. Angka 9 juga dipercaya sebagai angka
mistik.
Bahkan secara terbuka Ketua Mahkamah Agung, Mudjono,
mengungkapkan matematika mistik itu dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, 10
Februari 1982. Ketika itu, ia memaparkan bahwa lembaganya baru memiliki 8
bidang. Karena 17 adalah angka keramat, maka dibutuhkan lagi 9 --juga angka
keramat-- bidang. Dengan demikian, menurut dia, lembaganya masih kekurangan 9 x
3 atau 27 hakim. Jika dijumlahkan, angka 2 dan 7 juga menghasilkan angka 9.
Secara fungsional, menurut Mudjono, 24 + 27 = 51, unsur-unsur angka yang jika
dijumlahkan hasilnya adalah 6. "Yang kalau ditulis terbalik adalah
sembilan," ujarnya.
Ada juga kisah bagaimana Ketua Mahkamah Agung
menggunakan mistisme dalam kapasitas profesional. Ketika itu, mulanya sang
ketua tertimpa masalah pribadi. Tanpa sebab yang jelas, putrinya mendadak sulit
berjalan. Para dokter tidak bisa mengatasinya, sehingga sang putri harus
terbaring di tempat tidur selama dua tahun. Ajaibnya, pembimbing spiritual itu
berhasil memulihkan kesehatan putri sang ketua.
Beberapa tahun kemudian, putri sang ketua tertimpa
penyakit lain. Paranormal itu dipanggil lagi. Sekali lagi, sang putri sembuh.
Sang ketua sangat girang hingga menghadiahi paranormal itu arloji Swiss yang
mahal. Hubungan ketua dengan paranormal itu kian kental ketika ibunda sang
ketua mengalami koma --ia masih hidup sekalipun tanpa tanda-tanda aktivitas
otak selama beberapa tahun. Dengan bantuan paranormal tadi, ibunda sang ketua
itu akhirnya meninggal dunia.
Pengaruh mistis mulai masuk arena profesional ketika
pemerintah menimbang-nimbang untuk menjadikan hakim tadi sebagai Menteri
Kehakiman. Tak mampu memutuskan sendiri, hakim itu minta saran kepada sang
paranormal. Semula, sang paranormal menolak memberi saran karena merasa masalah
itu bukan kewenangannya. Namun ia tak bisa mengelak ketika sang hakim berkeras
meminta sarannya. Berdasarkan perenungannya, pembimbing spiritual itu
menyarankan sang hakim tetap berada di Mahkamah Agung.
Repotnya, berdasarkan kesaksian seorang asisten hakim
agung, para hakim yang mempercayai mistis itu mulai mengajak asisten mereka ke
kuburan dan gunung berapi untuk bersemadi dan menunaikan ritual magis.
Selanjutnya mistisme tidak lagi dijadikan sebagai acuan untuk menjawab
permasalahan pelik, melainkan benar-benar dipakai sebagai senjata dalam
pertarungan internal Mahkamah Agung.
Gejala itu tampak ketika Ketua Muda X mulai sering
kesurupan, bahkan dalam forum rapat pimpinan. Pada saat ia kerasukan, tak cuma
hakim agung yang lain, bahkan Ketua Mahkamah Agung pun dituding melakukan
penyelewengan. Saking seringnya, para hakim sampai terbiasa dengan perilaku
aneh itu.
Masalahnya, praktek mistisme itu lama-kelamaan menjadi
alat yang bisa mengancam staf Mahkamah Agung. Tak lama setelah seorang ketua
muda yang cukup terkemuka pensiun, salah satu dari empat asisten senior hakim
agung meninggal dunia. Asisten yang lain terkena kanker. Seorang asisten lagi
terpaksa mengundurkan diri karena terserang stroke. Asisten keempat memang
sehat walafiat, tapi anggota keluarganya sakit keras. Sejumlah staf
administrasi hakim juga mengalami nahas.
Peristiwa-peristiwa ganjil itu tampak terpola sehingga
mistisme dianggap sebagai biang kerok. Tak kurang dari dua hakim agung meyakini
bahwa banyaknya penyakit dan kematian di Mahkamah Agung merupakan ulah Ketua
Muda X. Hakim agung itu bahkan menceritakan bahwa di kantornya ada anak seorang
pegawai mendadak meninggal dunia tanpa sebab.
Ada pula bayi yang tewas tercekik tali pusar yang
melilit lehernya. "Sudah banyak sekali selain mereka yang sakit parah atau
meninggal dunia," katanya. Seorang hakim lain mengatakan, Ketua Muda X
tidak bisa menyentuhnya karena ia terlalu kuat. "Tetapi anggota keluarga
saya sakit keras belum lama ini," tuturnya.
Setelah pensiun, Ketua Muda X diduga masih memiliki
"kepanjangan tangan" di Mahkamah Agung untuk "ngerjai"
hakim lain. Ketika itu, seorang hakim merasa sangat ketakutan. Sampai-sampai,
ia tidak berani mimun air yang diberikan asistennya. Masalahnya, pegawai yang
diperbantukan itu adalah bekas asisten hakim yang sangat mistis tadi. Kisah
teror ini berakhir setelah sang hakim menyuruh agar asisten itu dipindah dari
kantornya.
Terakhir, Sebastian Pompe merekomendasikan tiga unsur
untuk pembaruan hukum di Indonesia. Pertama, keamanan. Pengadilan yang buruk
mendorong terjadinya kekerasan dalam masyarakat. Pengadilan adalah isu
keamanan.
Kedua, ekonomi. Pengadilan yang payah tidak hanya
menghalangi pertumbuhan, melainkan benar-benar melestarikan kemerosotan
ekonominya. Pengadilan yang buruk berkontribusi langsung terhadap kemiskinan
dan pengangguran.
Ketiga, legitimasi. Legitimasi adalah kunci
pelaksanaan kebijakan yang efektif serta kelangsungan hidup pemerintah, dan
pada akhirnya kelangsungan negara itu sendiri. Pemerintah membutuhkan
pengadilan yang efektif agar memiliki legitimasi dan efektivitas. Pengadilan
semacam itulah yang diperlukan bagi kelangsungan hidup pemerintah.