Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), Selasa 3 Juli lalu. Sebagai pengganti
UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, produk legislasi tersebut dinilai
sebagai langkah maju karena hak anak yang tersangkut hukum lebih terjamin.
UU SPPA lebih menjunjung tinggi keadilan restoratif. Konsep
keadilan yang di dalamnya mengandung metode penyelesaian kasus yang melibatkan
pelaku, keluarga, korban, dan pihak terkait yang orientasinya untuk pemulihan keadaan
sebagaimana tujuan tertinggi hukum. Sehingga upaya pidana menjadi ultimum
remidian.
Perubahan fundamental pada sistem peradilan anak sejatinya
terletak pada penerapan asas diversi. Diversi merupakan pengalihan perkara anak
dari proses peradilan pidana anak ke luar proses peradilan pidana. Tujuannya, selain
mencapai perdamaian antara korban dan anak melalui mekanisme di luar peradilan,
juga menghindari perampasan kemerdekaan dan masa depan anak. Namun pasal
tentang diversi pada UU itu mengandung contradictio
in terminis.
Di satu sisi, Pasal 2 huruf b mengamanatkan sistem peradilan
pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas nondiskriminatif tanpa
membeda-bedakan status hukum anak. Namun, pada sisi lain, ada kategorisasi
penerapan diversi yang dibatasi hanya pada tindak pidana dengan ancaman di
bawah tujuh tahun penjara dan atau bukan tindak pidana pengulangan (Pasal 7
ayat (2)). Sedangkan terhadap tindak pidana di atas tujuh tahun penjara tidak bisa
dilakukan upaya diversi. Artinya, semakin rendah ancaman pidananya, semakin
tinggi kemungkinan prioritas diversinya.
Pasal penerapan diversi tersebut sangat tidak konsisten pada
definisi awal tentang anak, sehingga kerangka dasar pembentukan keadilan
restoratif berlaku pengecualian. Padahal, undang-undang itu dibuat untuk segenap
anak Indonesia tanpa terkecuali. Terbatasnya hak akses untuk memperoleh diversi
bagi anak pelaku terorisme, pengedar narkoba, pemerkosaan, dan tindak pidana
serius lainnya, yang ancaman hukumannya di atas tujuh tahun penjara, merupakan
bencana besar bagi kehidupan anak. Bagaimanapun, anak identik dengan sosok
lemah, labil, dan perlu pendampingan. Dengan latar belakang itulah, maka
seorang anak wajib mendapat perlindungan dari orang dewasa, yang notabene
memiliki kecakapan berpikir dan kematangan mental.
Pasal 20 UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak tanpa diskriminasi. Namun
realitasnya, anak yang berhadapan dengan hukum selalu menjadi korban (victim) karena
tindakannya di bawah kemampuan dan tanggung jawab orang dewasa.
Anak mencuri karena kelaparan disebabkan problem kemiskinan.
Anak menjadi pengedar dan pecandu narkoba karena keluarga dan masyarakat abai mengontrol
pergaulannya. Anak terseret kasus asusila karena aparat tidak mampu memberantas
peredaran kaset porno. Berpijak pada diskriminasi penerapan disversi tersebut,
kita dapat merujuk pada dokumen internasional standard
minimum rule PBB (Res. No. 33Tahun 1985) mengenai
administrasi peradilan anak yang mengutamakan kesejahteraan, kelangsungan
hidup, dan tumbuh kembang anak tanpa diskriminasi.
Kriminalisasi Hakim
Pasal lain yang mengundang reaksi dari penegak hukum adalah
soal kriminalisasi penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak menerapkan
diversi ataumenahan melebihi ketentuan. Hal ini termuat dalam Pasal 96, 98, 99,
100, 101 UU SPPA.
Pasal pemidanaan hakim banyak ditentang karena secara
substantif bersifat inkonstitusional. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tegas menjamin
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Pasal 3 ayat (2) (3) UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dengan jelas ditentukan bahwa
segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Antitesisnya, jika pasal kontroversial tersebut berlaku, DPR
bisa lebih dahulu dipidana sebab dengan sengaja mengesahkan undang-undang yang
mencampuri dan mencabik imunitas yudisial. Kebebasan hakim merupakan inti
tegaknya hukum (independence judge is a core of rule of
law). Barangsiapa mengkriminalisasi hakim atas
hasil kerja profesionalnya berarti meruntuhkan pilar penegakan hukum.
DPR semestinya tidak mencantumkan pasal pemidanaan penegak
hukum. Sebab asas diversi merupakan ranah syarat formil yang bisa dikoreksi dalam
proses beracara. Cukuplah penerapannya bersifat imperatif dan apabila tidak
diterapkan oleh penegak hukum, akan berakibat batal demi hukum.
(Artikel asli oleh Achmad Fauzi, dimuat di Majalah
GATRA tanggal 25 Juli 2012)