Sunday, May 29, 2011

Kebebasan Hakim dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman

Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya di implementasikan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun Kekuasaan Negara lain, juga
bebas dari paksaan, rekomendasi dan segala macam hal lain baik dari extra yudisial meupun internal yudisial dalam menjatuhkan putusan.
Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dikenal adanya 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Pada awalnya, empat lingkungan peradilan tersebut berpisah dan tidak menjadi satu. Secara organisatoris, administratif dan finansiil badan-badan peradilan berada dibawah Departemen yang terkait/eksekutif (Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dibawah Departeman Kehakiman, Peradilan Agama dibawah Departeman Agama, Peradilan Militer di bawah Departemen Pertahanan), sedangkan Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tertinggi melakukan pengawasan maupun kasasi dan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut. Dengan perkataan lain, ada dualisme pembinaan hakim yaitu pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dan pembinaan administratif oleh Departemen (eksekutif) yang bersangkutan.
Pada perkembangannya, akhirnya muncul Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 yang merupakan implementasi dari Ketetapan MPR Nomor X Tahun 1998 (pemisahan tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif, juga termuat dalam 24 Undang-Undang Dasar 1945) yang menyatukan empat lingkungan peradilan diatas menjadi dibawah satu atap di Mahkamah Agung sehingga dengan demikian sudah tidak akan ada lagi dualisme dalam pembinaan badan-badan peradilan, melainkan akan menjadi satu pembinaan dibawah kewenangan Mahkamah Agung, baik meliputi pembinaan teknis maupun administratlif, organisatoris dan finansial.
Independensi Kekuasaan Kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah di cetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan "the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age" (aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern), didalamnya siebutkan bahwa ada 6 (enam) syarat terselenggaranya pemerintah yang demokratis berdasarkan Rule of Law, yaitu :
1. Perlindungan Konstitusional
2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3. Pemilihan Umum yang bebas
4. Kebebasan menyatakan pendapat
5. Kebebasan berserikat / berorganisasi dan beroposisi
6. Pendidikan kewarganegaraan
Dalam syarat-syarat yang disebutkan diatas, Independensi Kekuasaan termasuk syarat dasar, yang apabila itu tidak ada maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Arti pentingnya independensi badan-badan peradilan dan Kekuasan Kehakiman tersebut secara universal telah diterima dan ditekankan dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain:
1.  Universal Declaration of Human Rights, Pasal 10.
2.  International Covenant of Civil and Political Rights, Pasal 14.
3.  Vienna Declaration and Programme for Action, tahun 1993 paragraf 27.
4.  International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence tahun 1982 (New Delhi, India).
5.  Universal Declaration on the Independence, tahun 1983 (Montreal, Canada)
6.  Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, tahun 1995.
Dengan penjelasan diatas, maka terlihat bahwa Indepensi Kekuasaan Kehakiman itu dijamin secara nasional maupun internasional dengan berbagai macam peraturan, undang-undang, deklarasi, maupun traktat. Walaupun begitu, independensi dan kemandirian tersebut tetap diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”.
Batasan atau rambu-rambu utama dalam kebebasan dan indepedensi yang harus diingat dan diperhatikan adalah aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik formil maupun materiil sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum dan tidak bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".
Di sisi lain, Kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman (Independency of Judiciary) terikat dengan pertanggungan-jawab dan akuntabilitas (Judicial Accountability). Sebagai langkah konkrit dari pertanggung jawaban dan akuntabilitas tersebut, maka Ketua Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SK KMA no. 1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan. SK KMA no. 1-144 ini merupakan revisi dari SK KMA no. 144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan untuk mewujudkan Good Governance dan Check and Balances Keterbukaan Informasi dan transparansi.
Dalam SK KMA tersebut, disebutkan berbagai macam informasi yang harus diumumkan dikeluarkan oleh lembaga peradilan, termasuk Mahkamah Agung, diantaranya:
1. Informasi Profil dan Pelayanan Dasar Pengadilan (Fungsi, tugas dan yurisdiksi Pengadilan, Struktur organisasi Pengadilan, dsb),
2.  Prosedur beracara untuk setiap jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan.
3. Biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta seluruh biaya hak-hak kepaniteraan lain sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan.
4.  Agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama.
5.  Hak-hak para pihak yang berhubungan dengan peradilan (hak mendapat antuan hukum, hak atas biaya perkara cuma-Cuma, dst)
6.  Tata cara pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai;
7.  Informasi Program Kerja, Kegiatan, Keuangan dan Kinerja Pengadilan
8.  Ringkasan Laporan Akuntablitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Dan banyak hal lain yang harus “dibuka” oleh pengadilan untuk menerapkan prinsip tanggung jawab dan akuntabilitas. Salah satu konsekuensi dari adanya KMA ini para Hakim diharapkan mengeluarkan putusan–putusan yang berkualitas karena dapat dibaca dan dipelajari oleh semua orang. Ini juga merupakan salah satu bentuk "social accountability” (pertanggungan jawab pada masyarakat), karena pada dasarnya tugas badan-badan kehakiman atau peradilan adalah melaksanakan pelayanan publik di bidang memberikan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Bentuk lain dari kemandirian kekuasaan kehakiman ini adalah diakuinya dissenting opinion dalam sebuah proses peradilan. (silahkan baca artikel tentang dissenting opinion disini), karena melalui mekanisme "publication of dissenting opinion" itulah independensi hakim dijamin dalam menyampaikan dan mempertahankan argumentasi yuridisnya masing-masing pada waktu musyawarah putusan.
Konsekuensi lain dari akuntabilitas tersebut adalah adanya pengawasan atau  kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan agar kemandirian dan kebebasan Kekuasaan Kehakiman tidak disalah gunakan. Beberapa bentuk dan mekanisme pengawasan adalah dibentuknya Komisi Yudisial, juga mass-media termasuk pers.
Jadi, kebebasan Hakim, yang merupakan penerapan dari kemandirian kekuasaan Kehakiman, tidaklah berada sendiri superior, tetapi dibatasi oleh:
1.  Akuntabilitas
2.  Integritas moral dan etika
3.  Transparansi
4.  Pengawasan (kontrol)
Jika kekuasaan kehakiman diatas dikaitkan dengan Hakim, maka independensi itu harus disempurnakan dengan impartialitas dan profesionalisme seorang Hakim.
Independensi Kekuasaan Kehakiman itu juga mengandung makna bahwa Hakim sebagai penegak hukum bebas dari pengaruh-pengaruh:
1.  Ekternal (Lembaga di luar badan-badan peradilan)
2.  Internal (Lembaga di dalam system peradilan)
3.  Pihak yang berperkara
4.  Tekanan-tekanan masyarakat.
5.  Berita dan informasi dari media (trial by the press)
Terakhir, berkaitan dengan pers, pers memainkan peranan yang besar dan berpengaruh terhadap independensi Kekuasaan Kehakiman, karena dengan pemberitaan pers masyarakat memperoleh informasi apakah jalannya proses peradilan telah dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebagaimana seharusnya. Pers berfungsi sebagai kontrol sekaligus pemberi informasi secara benar, akurat dan tidak berpihak pada masyarakat tentang kinerja badan-badan peradilan, sehingga informasi dan berita dari pers harus bersifat informatif dan diharapkan tidak berisi berita dan informasi yang bersifat "trial by the press".
Share this history on :
Comments
0 Comments

0 Komentar:

Post a Comment

Disqus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...