Monday, May 23, 2011

Dissenting Opinion

“Dissenting” dalam kamus bahasa Inggris adalah bentuk kata kerja yang berasal dari kata “dissent” yang berarti berselisih paham. “Opinion” berarti pendapat, pikiran, perasaan. Jika disatukan, maka akan menjadi kalimat “dissenting opinion” yang berarti “terjadinya perbedaan pendapat atas suatu persoalan hukum”.
Dalam wikipedia disebutkan bahwa Dissenting Opinion adalah pendapat satu atau lebih hakim dalam suatu perkara yang menyatakan ketidaksetujuan dengan
pendapat mayoritas Majelis dalam hal penilaian terhadap hal tertentu.
Dissenting Opinion tidak mengikat dan berpengaruh apapun terhadap putusan. Akan tetapi, Dissenting Opinion lebih kepada penghargaan terhadap pendapat seorang Hakim (atau lebih) tentang  perkara aquo, dan Dissenting Opinion tersebut dapat digunakan untuk memancing adanya perubahan dalam hukum/undang-undang, dan tidak menutup kemungkinan akan ditiru oleh Hakim lain dalam mengadili perkara sejenis.
Dissenting Opinion terjadi karena beberapa sebab: interpretasi yang berbeda dari kasus hukum, penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda, atau penafsiran yang berbeda dari fakta-fakta. Dalam putusan yang dikeluarkan, hakim dapat menulis "setujua di bagian tertentu dan tidak setuju sebagian tertentu."
Dissenting opinion lahir dan berkembang dalam negara-negara yang menggunakan sistem hukum Common Law, seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Doktrin ini kemudian berkembang dan diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem hukum civil law seperti Indonesia, Belanda, Perancis dan Jerman.
Di Indonesia, dissenting opinion pertama kali lahir tidak mempunyai landasan yuridis formal karena praktek hakim yang berkembang. Pertama kalinya dissenting opinion ini memiliki landasan yuridis di dalam UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998. Dan sudah ada ada lima putusan pengadilan niaga yang memuat dissenting opinion.
Untuk perkembangan selanjutnya, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No 2 tahun 2000 tentang Hakim Adhoc, dan di pasal 9 disebutkan kalo pertimbangan DO itu berbentuk lampiran dan disatukan dengan putusan. Dengan kata lain, pertimbangan hukumnya tidak menjadi satu dengan pertimbangan putusan yang utama. Secara otomatis, Hakim yg DO itu tetap tandatangan di putusan. Ini adalah salah satu bentuk pengakuan resmi Mahkamah Agung terhadap pengaturan dissenting opinion dalam bentuk PERMA.
Pengaturan dissenting opinion selanjutnya terdapat dalam 2 (dua) Undang-undang bidang Kehakiman yaitu UU tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU tentang Mahkamah Agung.
Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 ayat (3) dan (4) memuat ketentuan dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, (3) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Ketentuan Pasal ini mengartikan bahwa dissenting opinion sebagai pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.
Dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dissenting opinion diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) dan (4) sebagai berikut: Pasal 30 ayat (2) menggariskan, dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Pada ayat (3) ditambahkan, ”dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Jimly Ash-Shidiqy berpendapat bahwa urgensi dissenting opinion hanya dalam putusan yg mengabulkan gugatan/permohonan. Jika ditolak atau di NO, tdk urgen memuat dissenting. Pendapat ini harus difahami dalam konteksnya yg membincang tentang putusan MK (bersifat final dan binding/tidak ada lagi upaya hukum). Sehingga ada benarnya jika beliau berpendapat demikian. Hal ini berbeda jika diterapkan pada pengadilan tk. Pertama dan banding karena terhadapnya masih ada upaya hukum. Jimly Ashshiddiqie juga berpendapat bahwa semua hakim dalam majelis pemeriksa perkara dapat melakukan dissenting opinion.
Bagaimanapun, sebuah putusan adalah hasil dari pikiran dan ijtihad hakim tentang pandangannya terhadap perkara aquo secara bebas, terbuka dan jujur dengan menggunakan pertimbangan hukum. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan:
1.  Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal dst.
2.  Instrumental in-put, faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal.
3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya lingkungan organisasi dan seterusnya (Moerad, 2005: 116).
Apabila dilihat lebih jauh, faktor-faktor tersebut dibagi atas faktor subjektif dan faktor objektif yaitu:
1.  Faktor subjektif yaitu:
  1. Sikap prilaku yang apriori, adanya sikap hakim yang berlandasarkan kepada terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana.
  2. Sikap perilaku emosional. Hakim yang mempunyai sifat mudah tersinggung akan berbeda dengan sifat seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Putusan seorang hakim yang mudah marah dan pendemdam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar.
  3. Sikap arrogance power, sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah arogansi kekuasaan. Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (Jaksa, Pembela apalagi Terdakwa).
  4. Moral seorang hakim juga berpengaruh, karena bagaimanapun juga, pribadi hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara.
2.  Faktor objektif:
  1. Latar belakang budaya, Kebudayaan, agama, pendidikan seorang hakim tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun tidak mutlak, tetapi setidak-tidaknya mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan.
  2. Profesionalisme, Kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya. (Moerad, 2005: 117 - 118).
Terakhir, pihak pencari keadilan dan masyarakat luas sudah seharusnya mau dan mampu menghargai apapun putusan yang dikeluarkan oleh Hakim (pengadilan), bahwa Hakim itu memutus berdasarkan bukti-bukti dipersidangan dan bukan berdasarkan kepada giringan opini publik dan media, sehingga pencari keadilan dan masyarakat tidak boleh langsung mengecam sebuah putusan tidak adil dan hakim tidak profesional, kecuali memang ditemukan kejanggalan pada putusan tersebut, dan itu pun harus melalui prosedur yang telah ditentukan.
Share this history on :
Comments
0 Comments

0 Komentar:

Post a Comment

Disqus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...