Akibat Perceraian: Hak Pengasuhan Anak Hasil Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Sebelum terbit UU No 12 tahun 20016, perkawinan campuran di Indonesia berpedoman pada UU Kewarganegaraan No 62 tahun 1958. Undang-undang ini menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal, artinya anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Adapun kewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa dilakukan setelah si anak berusia 18 tahun.
Setelah terbit UU no. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia, maka anak-anak yang lahir setelah agustus 2006 otomatis mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18 (dengan masa tenggang hingga 3 tahun), barulah si anak diharuskan memilih kewarganegaraan negara mana yang akan dipilihnya.
Jika terjadi perceraian, sang ibu dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan anak dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
Namun jika anak lahir sebelum terbitnya UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, maka anak tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia.
Ada baiknya pada saat mengambil keputusan bercerai, pasangan yang akan bercerai membuat kesepakatan baik mengenai harta bersama setelah perkawinan dan hak perwalian anak maupun status kewarganegaraan anak dan masing-masing pihak, sehingga ke depannya tidak menimbulkan masalah pada akibat hukum yang ditimbulkannya.
Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dari Perkawinan Campuran
Disamping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda merupakan hal lain yang dapat menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35), sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada dibawah penguasaan masing-masing sepanjang tidak diperjanjikan lain (pasal 36).
Harta benda milik bersama berada dibawah penguasaan suami istri selama masa perkawinan, dan suami/istri hanya dapat bertindak terhadap harta benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974). Apabila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37). Hukum masing-masing disini adalah hukum-hukum lain yang masih relevan di Indonesia.
Untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama harus didahului dengan persetujuan antara suami istri, sedangkan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaan, suami/istri berkuasa penuh terhadap harta bawaannya masing-masing. Meskipun demikian, terbuka pulang bagi suami/istri untuk menyimpangi ketentuan Undang-undang melalui perjanjian perkawinan (prenumptial agreement) yang dibuat sebelum atau pada saat melangsungkan perkawinan.
Perjanjian perkawinan sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi masalah yang timbul terkait pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian, apalagi terkait perkawinan campuran yang mengandung unsur asing didalamnya.
Keberadaan unsur asing dalam perkara sengketa kebendaan (harta bersama) yang merupakan akibat hukum perceraian antara suami istri berkewarganegaraan WNI-WNA, secara langsung bersinggungan dengan aturan-aturan Hukum Perdata Internasional (HPI).
Apabila membahas tentang benda dan hak-hak kebendaan dalam HPI, berbagai macam permasalahan HPI akan selalu muncul, mulai dari dikotomi antara benda tetap, benda bergerak, dan benda-benda tidak berwujud, karena berbagai sistem hukum menetapkan kriteria serta klasifikasi tentang benda yang berbeda-beda.
Karena itu, pertanyaan yang menjadi penting dalam HPI adalah berdasarkan hukum mana klasifikasi jenis benda itu harus dilakukan.
1. Status benda bergerak
Beberapa asas HPI yang menyangkut penentuan status benda-benda bergerak antara lain menetapkan bahwa status benda-benda bergerak ditetapkan berdasarkan:
a. Hukum tempat dari pemegang hak atas benda tersebut (bezitter atau eigenaar) berkewarganegaraan (asas nasionalitas)
b. Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut berdomisili (asas domicile)
c. Hukum dari tempat benda terletak (lex situs)
Pada poin 2 dan 3 dilandasi oleh asas hukum lain, yaitu asas mobilia sequntuur personam (status benda bergerak mengikuti orangnya)
2. Status benda tetap
Asas umum yang diterima dalam HPI menetapkan bahwa status benda-benda tetap ditetapkan berdasarkan lex rei sitae/lex situs atau hukum dari tempat benda berada. Asas ini juga dianut di Indonesia seperti yang dimuat dalam Pasal 17 AB.
Dapat juga dilihat dalam pasal 21 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1960 ttg Pokok Agraria yang menyatakan: “Orang asing yang sesudah berlakunya UU ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau perampuan harta karena perkawinan, demikian pula WNI yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UU ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung”.
3. Status benda tidak berwujud
Benda-benda yang dikategorikan ke dalam benda tidak berwujud biasanya meliputi utang piutang, hak milik perindustrian, atau hak-hak milik intelektual. Asas-asas HPI yang relevan dengan usaha penentuan status benda-benda tidak berwujud ada beberapa, diantaranya:
a. Status kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan atau berdomisili (lex patriae atau lex domicili)
b. Tempat gugatan atas benda-benda itu diajukan (lex fori)
c. Yang sistem hukumnya dipilih para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-benda itu (choice of law)
d. Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang menyangkut benda tersebut (the most substantial connection).
e. Pihak yang prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak paling khas dan karakteristik (the most characteristic connection)
Dalam hal ini ada perbedaan paham mengenai sifat hukum sebenarnya dari harta benda perkawinan internasional dan hukum mana yang harus digunakan apabila para pihak tidak membuat syarat-syarat perkawinan, maka ada 3 aliran yang perlu dipahami, yakni:
1. Pendirian yang memandang hukum harta benda perkawinan seperti benda tidak bergerak, karena itu termasuk dengan apa yang dinamakan status reel. Dalam pandangan ini dibedakan antara benda-benda yang tidak bergerak dan benda-benda bergerak. Untuk benda tidak bergerak dipakai Lex Rei Sitae yakni hukum dari tempat letaknya benda tidak bergerak yang dipergunakan, sedangkan benda-benda bergerak diatur dibawah hukum tempat tinggal para mempelai.
2. Pendirian bahwa hukum harta benda perkawinan termasuk bidang status personal. Dengan demikian, dianut sistem kesatuan daripada hukum yang mengatur harta benda perkawinan tanpa membedakan antara benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak.
3. Pendirian bahwa hukum harta benda merupakan satu kontrak diantara para mempelai, maka kehendak para pihaklah yang menentukan hukum yang harus dipergunakan (Lili Rasjidi, 1982:67-68)
Dalam Yurisprudensi, hukum harta benda perkawinan dipandang termasuk bidang status personal, dan saat ini banyak negara-negara menerima bahwa hukum harta benda perkawinan termasuk bidang status personal.
Namun bila menunjuk para konvensi HPI Den Haag mengenai Hukum Harta Benda Perkawinan (Convention In The Law Applicable To Matrimonial Property Regimes, 23 Oktober 1976) ditentukan bahwa pertama-tama kepada suami istri diberi kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang akan berlaku bagi harta benda perkawinan mereka, jika mereka tidak menggunakan kesempatan ini maka akan diberlakukan hukum intern dari negara tempat kedua suami istri menetapkan kediaman sehari-harinya yang pertama setelah perkawinan. (Bakri. A Rahman dan Ahmad Sukardja, 1981:85-89).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa terhadap benda tidak begerak berlaku asas Lex Rei Sitae, yaitu hukum yang berlaku atas suatu benda berdasarkan tempat dimana benda tersebut berada. Jika putusan pembagian harta bersama tersebut diputuskan di Indonesia, maka hanya akan berlaku terharap harta bersama yang berada di Indonesia. Apabila obyek eksekusi harta bersama berada di Luar Negeri yang diputus oleh pengadilan Indonesia, maka putusan tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengeksekusi harta besama tersebut, karena jangkauan hukum Indonesia hanya berlaku untuk dalam wilayah Indonesia saja.
Ada beberapa argumen tentang kekuatan hukum putusan pengadilan negara lain:
1. Bahwa putusan asing (pengadilan luar negeri) tidak mempunyai daya kekuatan mengikat yang pasti terhadap obyek sengketa di dalam negeri Indonesia (Pitlo, Pembuktian Dalurarsa), dengan rincian:
a. Putusan hakim asing yang mengandung diktum condemnatoir (menghukum) juga tidak diakui dan tidak mempunyai daya mengikat.
b. Putusan hakim asing yang mengandung diktum menolak dapat diakui mempunyai daya kekuatan mengikat.
c. Putusan hakim asing dapat diakui memiliki daya kekuatan mengikat dengan syarat berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral, dan harus sesuai dengan asas Reprositas.
2. Pasal 436 RV menegaskan “Putusan Pengadilan asing tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan Indonesia”. Pasal ini tidak membedakan apakah putusan hakim asing itu mengabulkan gugatan yang berisi condemnatoir atau menolak gugatan, secara generalis disamaratakan yaitu setiap putusan asing tidak dapat dieksekusi oleh peradilan Indonesia. Sekalipun pasal 6 UU No. 1 Tahun 1951 telah dinyatakan tidak berlaku, namun ketentuan pasal 436 RV masih dijadikan rujukan berdasarkan doktrin doelmtigheid, atas dasar HIR dan RBG tidak memilik aturan seperti itu.
Dengan bertitik tolak dari redaksi pasal 436 RV yang dengan tegas mengatakan kecuali ada UU khusus yang mengaturnya, maka putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan dalam negara kita, kecuali dalam dua hal:
1. Putusan hakim asing mengenai perhitungan dan pembagian kergian yang menimpa kapal umum berdasarkan pasal 724 KUHD
2. Adanya perjanjian bilateral atau multilateral antara Indonesia dengan suatu negara sesuai dengan asas reprositas (Yahya Harahap, 2005: 716)
Berdasarkan aturan dan doktrin hukum diatas, maka putusan pembagian harta yang dilakukan di luar negeri, atau putusan hakim asing tidak mempunyai kekuatan mengikat serta tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan di Indonesia, sehingga orang yang mebawa putusan asing tersebut harus pula mengajukan lagi gugatan baru. Putusan itu hanya diadikan sebagai alat bukti (Pasal 436 ayat (2) RV)
Oleh karena itu, perceraian perkawinan campuran kumulasi harta bersama yang dilaksanakan di pengadilan Indonesia dan telah berkekuatan hukum tetap, jika harta bersama terletak di Indonesia bisa langsung dieksekusi, sedangkan untuk harta yang terletak di Luar Negeri, Pemohon (suami/istri) dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan di Luar Negeri untuk melakukan pembagian harta bersama yang terletak di negara yang bersangkutan.
Kesimpulan
1. Perkawinan campuran yang dilaksanakan di dalam negeri Indonesia antara WNA-WNI, berlaku bagi keduanya UU perkawinan sebagaimana layaknya WNI, karena peristiwa hukum yang terdapat unsur asing didalamnya dilaksanakan menurut hukum dari tempat dilaksanakannya peristiwa hukum tersebut (locus regit actum).
2. Perkawinan yang dilakukan diluar negeri oleh sesama WNI atau antara WNI-WNA dilaksanakan sesuai dengan hukum perkawinan dimana perkawinan itu dilangsungkan (lex loci celebrationis) selama WNI tersebut tidak melanggar ketentuan UU perkawinan (16 AB) dan tidak melepaskan status kewarganegaraan Indonesia. Perkawinan tersebut wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada perwakilan RI, dan harus pula dilaporkan ke instansi pelaksana perkawinan di tempat tinggalnya paling lambat 30 hari terhitung setelah mereka tiba di Indonesia. (UU No. 23 Tahun 2006).
3. Putusan perceraian yang dilakukan oleh negara asing tidak mempunyai daya mengikat dan bukanlah sebuah alat bukti perceraian yang sah, dan status hukum mereka dianggap masih sah sebagai suami istri, selama yang bersangkutan tidak memegang Akta Cerai. Akta cerai tetaplah menjadi satu-satunya bukti sah terjadi perceraian, entah itu didalam negeri, ataupun diluar negeri.
4. Anak-anak yang lahir hasil dari perkawinan campuran (terhitung mulai Agustus 2006) mendapatkan kewarganegaraan ganda. Setelah usia 18 (dengan masa tenggang hingga 3 tahun), barulah si anak diharuskan memilih kewarganegaraan negara mana yang akan dipilihnya (UU no. 12 tahun 2006). Anak-anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum terbitnya UU No. 12 Tahun 2006 harus dilaporkan terlebih dahulu ke pihak yang berwenang agar bisa mendapat kewarganegaraan Indonesia.
5. Dalam hal perkawinan campuran, WNI dan WNA pelaku perkawinan campuran tetap berhak atas setengah dari nilai harta bersama selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah satu-satunya cara pencegahan terjadinya percampuran harta, sehingga harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak tersebut tetap menjadi milik masing-masing person.
6. Hukum pembagian harta bersama akibat perceraian dari perkawinan campuran yaitu; pertama-tama kedua suami istri diberi kebebasan untuk menentukan sendiri hukum yang akan berlaku bagi harta benda perkawinan mereka melalui perjanjian perkawinan. Jika mereka tidak membuat perjanjian perkawinan, maka akan berlaku hukum intern dari negara tempat kedua suami-istri menetapkan kediaman sehari-harinya. Bagi benda bergerak berlaku hukum dari pemegang benda tersebut berada, namun bagi benda tidak bergerak berlaku hukum dimana benda tidak bergerak itu berada. Apabila benda tidak bergerak tersebut berada di Luar Negeri, maka eksekusi terhadap benda tersebut harus melalui putusan pengadilan dari negara dimana benda tidak bergerak itu berada, karena Pengadilan di Indonesia tidak mempunyai wewenang untuk itu.