Sebuah sengketa perdata terjadi karena adanya tuntutan hak yang diajukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain ke pengadilan. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri (eingenrichting). Pihak yang mengajukan tuntutan hak memerlukan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga adanya kepentingan adalah salah satu syarat untuk mengajukan tuntutan hak, jadi tidak setiap orang dapat mengajukan tuntutan hak ke pengadilan.
Untuk mencegah agar tidak setiap orang bisa mengajukan tuntutan hak ke pengadilan tanpa dasar, maka hanya pihak yang memiliki kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum saja lah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak, dengan kata lain gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai tuntutan hukum (Yurisprudensi no. 294K/Sip/1971).
Tuntutan hak (Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) atau tuntutan yang hak yang mengandung sengketa, secara umum disebut sebagai gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (Pasal 118 ayat 1 HIR/Pasal 142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 ayat 1 Rbg).
Gugatan yang diajukan ke pengadilan pada pokoknya memuat (pasal 8 no. 3 Rv):
1. Identitas para pihak
Termasuk nama, tempat tinggal, umur, Alamat, dst.
2. Dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi/posita).
Posita terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang hukum. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduk perkara, sedang uraian tentang hukum ialah uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan.
Kejadian-kejadian yang disebutkan dalam gugatan harus menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, tanpa harus dijelaskan secara rinci dan panjang lebar tentang dasar, jalan cerita, atau sejarah kejadian, karena hal itu dapat dikemukakan di dalam persidangan disertai pembuktian (teori individualisasi). Hal ini sesuai dengan yurisprudensi No. 547K/Sip/1971 yang menyatakan bahwa perumusan kejadian materiil secara singkat dalam surat gugatan sudah memenuhi syarat.
3. Tuntutan (petitum)
Petitum ialah apa yang oleh Penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum (amar putusan). Petitum harus dirumuskan dengan jelas dan tegas. Perumusan petitum yang tidak tegas dan jelas akan berakibat gugatan tersebut menjadi tidak dapat diterima (N.O./niet onvankelijke velkraad), karena walaupun pasal 94 Rv disebutkan bahwa apabila pasal 8 Rv tidak terpenuhi berakibat gugatan batal, akan tetapi dalam Yurisprudensi disebutkan bahwa tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat berakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut.
Supaya kemungkinan dikabulkannya sebuah tuntutan/gugatan besar semakin besar, biasanya tuntutan pokok (petitum primair) diikuti dengan tuntutan pengganti (petitum subsidair). Tuntutan subsidair biasanya berbunyi “Agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “mohon putusan yang seadil-adilnya” (et aquo et bono), hal ini bertujuan agar kalau tuntutan primair ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan dari hakim serta keadilan. Tuntutan subsidair ini diperbolehkan dalam hukum perdata Indonesia (yurisprudensi No. 547K/Sip/1971, dan untuk lebih lengkapnya, silahkan klik disini untuk membaca artikel tentang et aquo et bono)
Di dalam sebuah sengketa perkara perdata, ada sekurang-kurangnya dua pihak, yaitu pihak Penggugat (yang mengajukan gugatan) dan Tergugat. Pihak Penggugat dan Tergugat ini merupakan pihak materiil, karena mereka mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan, sekaligus merupakan pihak formil, karena merekalah yang beracara di muka pengadilan bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri.
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat di muka pengadilan tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang bersangkutan, misalnya seorang wali atau pengampu bertindak sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang yang yang diwakilinya. Nama mereka harus dimuat dalam gugatan di disebut dalam putusan, disamping nama-nama yang mereka wakili. Wali tersebut merupakan pihak formil, sedangkan yang dwakilinya adalah pihak materiil (Pasal 383, 446, 452, 403-405 BW).
Walaupun begitu, harus digaris bawahi bahwa seorang pengacara, walaupun bertindak atas nama dan kepentingan kliennya, bukanlah merupakan pihak baik formil maupun materiil.
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan pengajuan gugatan, diantaranya:
1. Obscur Libel
Obscuur secara sederhana disebut “tidak jelas”. Misal tidak jelas dasar hukum yang menjadi dasar gugatan, tidak jelas obyek gugatan (jika itu berupa tanah maka batas2, letak, ukuran), Petitum tidak jelas (tidak rinci), atau ada kontradiksi antara posita dan petitum.
Salah satu contoh kontradiksi antara posita dan petitum adalah antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (artikel tentang ini pernah saya dibahas di blog ini dengan artikel berjudul “Antara Wan Prestasi dan Perbuatan Melawan Hukum", silahkan klik disini untuk membaca artikel tersebut”).
Untuk mengingatkan, bahwa tuntutan wan prestasi dan perbuatan melawan hukum tidak dapat dijadikan satu, sehingga apabila positanya menjelaskan masalah wan prestasi, petitum tidak dapat berisi tuntutan perbuatan melawan hukum. Hal ini terjadi karena beberapa hal:
a) Segi sumber hukum
- Wanprestasi berdasarkan pasal 1243 KUHPerd yang timbul dari persetujuan, tuntutan terjadi karena perjanjian tidak dipenuhi sama sekali/tidak tepat waktu/tidak dipenuhi secara layak.
- Melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerd, terdapat unsur perbuatan melanggar hukum dan dapat dituntut sekaligus secara pidana dan perdata.
b) Segi hak menuntut
- Wanprestasi memerlukan proses atas pernyataan lalai, apabila ada klausul debitur langsung wanprestasi, namun jika tidak ada klausul maka harus somasi terlebih dahulu.
- Perbuatan Melawan Hukum tidak diperlukan somasi
c) Segi tuntutan ganti rugi
- Tuntutan ganti rugi untuk Wanprestasi dihitung sejak terjadi kelalaian (1237 KUHPerd), meliputi kerugian yang dialami dan keuntungan yang akan diperoleh (1236 & 1243 KUHPerd)
- Tuntutan ganti rugi Perbuatan Melawan Hukum dapat tidak dirinci, dan dapat dituntut ganti rugi immateriil dan materiil tanpa ada standar tertentu (1365 KUHPerd).
2. Error In Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak di bawah umur (Pasal 1330 KUHPer), mereka yang berada di bawah perwalian/curatele (Pasal 446 dan 452 KUHPer), tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
Dapat juga dianggap error in persona apabila pihak yang ditarik sebagai Tergugat/Termohon keliru/salah (Putusan MA No.601 K/SIP/1975), atau pihak Penggugat/pemohon atau Tergugat/Termohon yang tercantum dalam surat gugatan/permohonan tidak lengkap (Plurium Litis Consorsium, Putusan MA 156 K/Pdt/1983)
3. Melanggar Kompetensi
a. Tidak berwenang mengadili secara Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 Lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer), Peradilan khusus (Arbitrase, Peradilan Niaga, P4D, dst)
b. Tidak berwenang mengadili secara Relatif.
Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama (pasal 118 HIR). Eksepsi jenis ini dapat diakibatkan beberapa hal:
a) Pengadilan yang berwenang adalah dimana Tergugat bertempat tinggal (Actor Sequitur Forum Rei)
b) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana debitur bertempat tinggal (Actor Sequitur tanpa hak opsi)
c) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Penggugat bertempat tinggal, dengan catatan tergugat tidak diketahui keberadaannya.
d) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan dimana Harta sengketa (tidak bergerak) berada (Forum Rei sitae)
e) Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan di salah satu tempat dari beberapa harta sengketa (tdk bergerak) berada (Forum Rei Sitae dengan hak opsi)
4. Set Aside
Set Aside berarti menyisihkan, maksudnya dalam mengajukan gugatan, ada beberapa hal yang sering disisihkan, dilupakan atau dilalaikan oleh Penggugat, misal:
a. Apa yang digugat sesungguhnya sudah dipenuhi,
b. Sudah dihapuskan sendiri oleh penggugat,
c. Sudah melepaskan diri, misal penggugat pada waktu terbukanya harta warisan menolak sebagai ahli waris.
d. Faktor lewat waktu (daluwarsa)
5. Perkara sudah diajukan dan sedang diperiksa
Hal ini dikenal dengan istilah rei judicata deductae, yaitu perkara tersebut sudah diajukan, belum berkekuatan hukum tetap, dan masih dalam pemeriksaan proses persidangan, entah itu belum diputus oleh Majelis, atau sudah diputus akan tetapi masih dalam proses upaya hukum (Banding, Kasasi). Perkara seperti ini harus dibatalkan demi hukum.
6. Gugatan Prematur
Suatu gugatan disebut prematur jika ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan tersebut, misalnya gugatan warisan disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia, atau hutang yang belum jatuh tempo tidak dapat dituntut untuk ditunaikan.
7. Nebis in Idem
Nebis in idem adalah sebuah perkara para pihak yang sama, dengan obyek sama, dan materi pokok perkara yang sama tidak dapat diperiksa lagi. Jika ada perkara obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihaknya berbeda tidak termasuk nebis in idem (Pasal 1917 KUHPerd, Yurisprudensi No. 588 K/SIP/1973, dan Yurisprudensi MA No. 647 K /SIP/1973). Dengan demikian, suatu perkara dapat dikatakan Nebis In Idem apabila:
1) Pernah diperkarakan sebelumnya (yurisprudensi MA No. 1743 K/SIP/1983)
2) Telah berkekuatan hukum tetap (yurisprudensi MA No. 647 K/SIP/1973)
3) Telah tertutup upaya hukum biasa (banding dan kasasi)
4) Telah diajukan banding dan kasasi.
5) Telah lewat waktu banding dan kasasi.
6) Tidak diajukan upaya hukum.
Akan tetapi, apabila ada perkara sama yang telah diputus tidak dapat diterima/N.O. karena tidak memenuhi syarat formil, maka itu tidak termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya (yurisprudensi No. 878 k/Sip/1977).
Sebagai pelengkap artikel ini, silahkan klik disini untuk membaca artikel "Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana dan Perdata".